Jumat, 15 Agustus 2014

Wadah Cinta

Jiwa kita adalah ibarat sebuah wadah, wadah yang tak kasat mata yang berfungsi untuk menampung energi cinta-Nya lalu menyalurkannya bagi semua makhluk di alam semesta. 

Kapasitas jiwa sebagai wadah cintaNya ini sangatlah dinamis, dia bisa bertumbuh semakin besar apabila sang jiwa menyadari tugas kemanusiaannya, sehingga dengan sadar jiwa ini selalu membersihkan dirinya dari hal-hal yang mengotorinya, yang mana hal-hal yang mengotori itu akan membuat kapasitasnya untuk menampung cinta Ilahi menjadi berkurang. Dan semakin sadar jiwa ini meniatkan dirinya sebagai pelayan Tuhan untuk alam ini maka wadah ini akan terus tumbuh sehingga semakin banyak kesadaran cinta Ilahi yang mampu ditampungnya.
Namun sebaliknya, sebuah wadah bisa juga mengalami degradasi, mengecil karena terjadi kebocoran, manakala sang pemilik tidak merawatnya. Penyakit-penyakit hati seperti kecemasan, iri hati, dan emosi negatif lainnya akan membuatnya korosif, berkarat dan pelan pelan menggerogoti dari dalam hingga akhirnya bocor dan tak mampu lagi menampung cintaNya dalam jumlah yang cukup.

Ketika cinta Ilahi ini tak tersedia cukup banyak dalam jiwa kita, maka seseorang akan menjadi jiwa yang merasa hampa, kosong, tidak bahagia dan kehilangan keberadabannya sebagai manusia. Akibatnya tugas-tugas dari Tuhan yang seharusnya mampu diemban sebagai saluran berkat Ilahi di muka bumi tak lagi mampu dijalankan.

Dalam pusaran dunia yang serba materi seperti sekarang ini, membuat manusia secara tak sadar menjauh dari kesadaran sejati. Bertahan hidup dengan cara bekerja mati-matian, menghabiskan waktu dan tenaga untuk bisnis dan pekerjaan, hingga lupa, ada jiwa yang mendiami tubuh fisiknya. Jiwa yang membutuhkan cintaNya untuk dapat terus hidup dan berbahagia. Karena bahagia bukanlah seberapa banyak uang yang mampu dikumpulkan, namun seberapa mampu kita mensyukuri rizki yang kita dapatkan. Dan kemanusiaan kita akan berfungsi ketika kita dapat membagikan kebahagiaan ini kepada makhluk Tuhan yang lain.

Bersihkan diri dan siapkan wadah yang layak untuk cinta Ilahi.  ^_^

Jumat, 06 Juni 2014

Ibu

Bulan tepat setengah, berpendar indah, putih cemerlang di tengah angkasa nan luas, namun aku tak sempat memandanginya lebih lama, aku tenggelam dalam aliran airmata mu yang deras mengalir, ketika lantunan kata yang penuh cinta memelukmu erat. Bundaku, aku tahu betapa pedih yang harus kau tanggungkan demi mengiyakan semua tugas muliamu sebagai ibu bagi kami. Karena aku tahu, tak semua anakmu mengerti beban yang kau sandang selama ini. Maafkan kami anak anakmu, yang masih juga merengek manja, mengeluh dan mengaduh ketika kau mengajak kami membantumu melakukan tugas tugas muliamu. 

Beberapa mungkin tak sampai terucap, namun bagiku tak pantas itu terlintas di pikiran kami. Bundaku, aku tahu pasti, takkan engkau memarahi kami untuk kenakalan kami. Namun ada satu yang tak bisa engkau sembunyikan,  aku menangkap sebersit sedih dalam paras ayumu malam tadi.

Pun begitu, masih juga engkau memanjatkan do'a bagi kami, "Tuhan ampuni mereka, mereka hanya belum mengerti apa maksudku."

Menjadi ibu bagi kami anak anakmu menjadi panggilan jiwamu, maka biarlah menjadi anak anak yang patuh padamu juga menjadi panggilan jiwa kami. Terimakasih selalu memaafkan semua anak anakmu dan membawa semua tanpa kecuali dalam do'a do'a mu. Kasih ibu memang sejati, kasih yang tak pernah menuntut balasan, kasih yang tak pernah lekang dimakan zaman. Terimakasih Ibundaku...

"Ya Rabb, karuniakanlah senantiasa kesehatan, kebahagiaan dan cukupkanlah apapun yang beliau butuhkan, sayangilah beliau sebagaimana beliau menyayangi kami sejak kami kecil dahulu... "

Bunda, cinta dan do'a dari kami untukmu


Selasa, 03 Juni 2014

Damai Kita di Tanah Yogyakarta

Dalam sejarahnya Yogyakarta dikenal sebagai kota yang aman, tenang dan damai. Ketika terjadi kerusuhan pada tahun 1998 di berbagai kota, di Yogyakarta justru terjadi aksi damai yang di dukung oleh berbagai macam elemen masyarakat dan dari semua suku yang tinggal di Yogyakarta. Semua berkomitmen untuk menjaga kedamaian di Yogyakarta. Saat itu teriakan damai benar benar mampu meredam dan membentengi arus kekerasan dari kota lain di dekatnya, hingga perusuh tak mampu menembus masuk Yogya. 

Namun beberapa hari yang lalu, terdengar kabar tentang terjadinya aksi kekerasan di tanah Yogyakarta, berbagai macam isu berkembang simpang siur, namun yang paling keras terdengar bahwa kekerasan itu berbau "sara". Dari segi manapun memang kekerasan tak bisa dibenarkan, apalagi yang terjadi tersebut adalah sebuah penyerangan pada sekelompok orang yang sedang melakukan do'a bersama. Di sosial media, pihak pihak yang merasa bersimpati dengan korban berteriak keras dan tajam, aroma tuduhan, menyalahkan dan foto korban memang cukup untuk membuat bergidik dan mendidihkan rasa tidak terima atas ketidakadilan. 

Terdengar keras kecaman tentang perilaku kekerasan, kasus kekerasan dengan isu sara memang membuat miris, bagaimanakah cara mengatasinya? Cukupkah dengan diam dan menyerahkan pada pihak yang berwajib? Atau haruskan dilakukan penghakiman oleh masyarakat karena merasa tidak puas dengan hukum yang ada? Atau semua harus berteriak dengan keras mengecam kekerasan tersebut? Bisakah itu mengubah keadaan dan mengubah kesadaran pelaku kekerasan hingga ke akarnya?

Sebatang pohon yang tak berakar dalam akan mudah tumbang tertiup angin, dan bangsa yang lupa bagaimana akarnya akan mudah dibawa kepada paham paham yang sebenarnya dia tak benar benar memahaminya. 
Semenjak lama, nenek moyang bangsa ini sudah memiliki filosofi, ajaran budi, dimana mereka tahu, kekerasan bukanlah untuk dilawan dengan kekerasan, namun kekerasan hanya bisa musnah apabila pelakunya disadarkan atas perilakunya tersebut. Menghadapi kekerasan dengan represif memang bisa menghentikan sementara kekerasan tersebut, karena pelaku jera akibat takut akan hukuman yang setimpal. Namun itu tidak menjamin si pelaku sadar. Meneriakkan dengan keras perlawanan atas kekerasan hanya akan membuat kekerasan semakin menguat dan kebencian semakin berurat berakar. Akhirnya yang benar benar mampu memutus mata rantai kekerasan adalah pahamnya seseorang akan kasih sayang dari Sang Maha Pencipta. Raden Ng Ranggawarsita pernah menuliskan dalam salah satu serat, "Sura dira jayaningrat, lebur dening pangastuti" bahwa kekerasan hati dan keangkaramurkaan hanya akan sirna apabila dilebur/dikalahkan oleh sikap lemah lembut kasih sayang yang didapatkan dari manembah pada Yang Maha Kuasa (= pangastuti). 

Merunut semua perjalanan Yogyakarta tersebut, maka insiden yang terjadi beberapa saat lalu seharusnya dijadikan cermin bagi setiap individu  yang peduli akan hal ini. Seberapakah kita menanamkan kasih sayang untuk orang orang terdekat kita, seberapakah kita memahami lingkungan sekitar kita tinggal, seberapakah kita memiliki kepekaan sosial, sifat toleransi dan cinta kasih. Tak perlulah menunjuk keluar mencari kambing hitam, akan lebih indah bila setiap kita memulai dari diri sendiri, dengan koreksi diri dan membenahi ke dalam diri. Karena apa yang kita perbuat itulah yang akan kita nikmati hasilnya. 

Sepenggal cerita dari Yogyakarta, semoga menumbuhkan sepenggal cinta yang memiliki makna luar biasa untuk kehidupan manusia.

Love Yogya and you 


Senin, 26 Mei 2014

Melepas Kecewa Menggapai Syukur

"Satu kekecewaan itu ibarat sebutir peluru yang langsung ditembakkan  tepat ke jantungmu, sehingga merontokkan semangat dan menghancurkan seluruh sendi kebahagiaanmu. Dan hidup pun seakan menjadi lumpuh."

Dalam hidup ini, pasti kita pernah dihadapkan pada satu situasi yang sama sekali meleset dari prediksi, atau pada suatu keadaan dimana kita sudah melakukan segala sesuatunya dengan maksimal namun ternyata hasil yang didapatkan tetap tidak seperti yang diharapkan. Atau seperti yang saya alami hari ini, dimana hari ini adalah satu hari kerja yang diapit oleh dua hari libur, pada pagi tadi, saya berangkat dan bekerja sebagaimana biasa, dan baru pada pukul 16.00 wita, saya tersadar bahwa ternyata hari ini adalah cuti bersama perusahaan. Sempat ada perasaan kecewa yang begitu besar, karena bila saya tahu dari beberapa hari yang lalu, saya bisa pulang ke Yogyakarta untuk menengok anak anak saya disana, dan mendapatkan libur yang panjang untuk bisa pulang ke Yogya adalah sesuatu kemewahan bagi saya, dan hari ini berlalu begitu saja. aarrrgghh..Terbersit sesal, agak dalam. Hingga rasanya lunglai, ah,,, harusnya saya sudah ada di disana, memandangi merapi, memandangi alun alun. 

Sembari pulang dari kantor, terus menerus saya mengolah rasa ini dan berusaha melepaskannya, mungkin ini sangat sederhana buat sebagian orang, tapi buatku sangatlah berarti, "waktu adalah milik Tuhan, akan ada saatnya bersama dengan mereka lagi, saat ini berarti ada yang harus diselesaikan disini, " kata mbak Adek yang sangat bijaksana. Ya, memang benar apa yang dikatakan semua teman dan anak-anak saya. 
Dan, diakhir perenungan, dengan penuh keikhlasan saya serahkan semua hasil kerja ini untuk perusahaan tempat saya bekerja, mungkin saja sebelum ini saya memiliki hutang waktu dengannya, dan saya impaskan dengan bekerja di hari libur ini, perasaan lega menyelimuti jiwa saya, dan saya merasakan kehangatan cinta dari pelukan sahabat-sahabat dan anak anak. indah.

Tuhan, terimakasih, dan terimakasih kepada guru yang telah mengajarkan saya untuk menerima hidup apa adanya.

"ketika kita mampu melepas kekecewaan dengan cara mengkoreksi kekurangan pada diri sendiri, maka timbullah perasaan rela dan keikhlasan atas apapun yang terjadi pada diri kita. Selanjutnya kita akan merasakan betapa indahnya pelukan cinta dari para sahabat di sekitar kita. Rasakan kehangatan cinta mereka menyelimuti jiwamu, dan bersyukurlah atas karunia-NYA"

Minggu, 18 Mei 2014

Bernyanyi dengan Bijaksana

Di awali pada suatu pagi, beberapa hari lalu, ketika aku berangkat ke kantor, seperti biasa hanya ditemani oleh suara radio. Melalui penyiar yang selalu memperdengarkan kegembiraannya, lagu demi lagupun berlalu sepanjang perjalanan pagi itu, hingga pada satu lagu yang cukup mengusikku, entah apa judulnya, yang pasti dibawakan oleh grup yang cukup kondang di negeri ini. Sebuah lagu yang mengisahkan tentang kekecewaan seseorang terhadap kekasihnya karena merasa ditinggalkan, hingga menimbulkan kesedihan yang berujung dendam. Walaupun sebenarnya banyak lagu yang isinya meratap, dendam, sumpah serapah, namun yang ini menarik untuk dicermati, mengingat sang pengarang dengan berani membawa bawa istilah karma. Walaupun sebenarnya sih sah sah saja seseorang mengusung istilah karma dalam lagunya, hanya saja, aku merasa ada yang tidak pas dengan pemahaman tentang karma yang di suarakan melalui lagu itu, 


"aku yang terusir, jauh dari kamu, jauh dari kamu
cinta dan harapan dibunuh dan mati
bangkit dan terbunuh lagi (semua karena dirimu)
Aku yang mengemis, mengais cintamu seperti pengemis
aku yang dibuang dari relung hati orang yang kucinta

oh Tuhan ampunilah dosa, dendam aku padanya
menunggu karma, aku menunggu karma

dengar dan ingatlah saat aku bangkit dari kesedihan
engkau kan berlutut & memohon diriku, memohon ampunan dari diriku

oh Tuhan ampunilah aku, niat buruk di doa
aku hanya inginkan dia, merasakan getir cinta

menunggu karma (membalasmu)
aku menunggu karma (membalasmu)
menunggu karma (membalasmu)
aku menunggu karma (membalasmu)

Sepertinya ini kali kedua sebuah grup band mengusung tema tentang dendam dengan mengatas namakan karma. Dulu beberapa tahun silam juga ada sebuah grup Band yang terang terangan memberi judul lagu mereka "Karma", yang isinya adalah kurang lebih sama "jangan menangis sayang, kuingin kau rasakan pahitnya terbuang sia sia, memang pantas kau dapatkan." 

Dari dua lagu tersebut rasanya cukup mewakili, bahwa aturan tentang karma yang diyakini umat Hindu dan Buddha dipahami secara salah oleh orang kebanyakan. Seakan akan aturan tentang karma adalah tentang pembalasan atas sesuatu hal buruk dan dekat sekali dengan dendam kesumat. Saya bukan penganut Hinduism ataupun Buddhism, namun saya berusaha memahami apa yang sebenarnya di definisikan tentang hal tersebut menurut mereka. Bukankah kita harus memahami satu peristilahan berdasar budaya asal istilah tersebut timbul agar tidak terjadi salah paham? 

Yang dimaksudkan dalam lagu diatas oleh sang penulis lagu sepertinya adalah tentang Hukum Karma, yaitu satu hukum yang diyakini oleh umat Hindu dan Buddha sebagai hukum alam yang berlaku universal, sebagaimana hukum gravitasi, dimana hukum ini mengikat semua makhluk di muka bumi ini, baik yang mengetahuinya maupun yang tidak mengetahuinya. Hukum karma ini diyakini sebagai hukum sebab akibat, atau hukum tabur tuai. Siapa berbuat dia yang menuai. Hingga titik ini, pemahaman penulis lagu tidaklah salah, bahwa seseorang yang berbuat jahat maka dia akan mendapat balasannya. Karena memang menurut pemahaman hukum karma dalam Hinduism & Buddhism bahwa siapa yang melakukan dialah yang akan mendapatkan dan itu tidak dapat diwakilkan kepada orang lain, walaupun itu keturunannya sekalipun. 
Pencipta lagu ini menyuarakan hal tersebut, yaitu suara seseorang yang sedang dilanda sakit hati yang amat sangat maka ego-nyapun berbicara lantang, bahwa pasti akan ada balas yang didapatkan oleh orang yang menyakitinya. Seperti yang diulas diatas, hingga titik pembicaraan ini masih bisa dibenarkan, akan tetapi bila dipahami lebih jauh, ternyata ada pemahaman yang belum pas.

Menurut ajaran Buddha yang saya baca, "kehendak untuk berbuat itulah yang dinamakan karma, setelah berkehendak orang akan melakukan perbuatan melalui berpikir, ucapan dan tubuh jasmani". Jadi bila menurut pemahaman aslinya baru berniat lalu berpikirpun itu sudah membentuk karma, bisa karma baik, bisa juga karma buruk. Bila dalam lagu tersebut sang penulis membuatkan alur bahwa seseorang yang tersakiti berharap, bahkan sampai berdo'a agar orang yang menyakitinya mendapatkan kegetiran yang sama, disinilah letak kesalahannya, dengan pemikiran buruk tersebut berarti orang yang tersakiti itu justru membentuk karma buruknya sendiri, dan bila demikian maka menurut hukum karma, dirinya sendirilah yang akan mendapatkan balasan seperti yang dia pikirkan/harapkan agar terjadi pada orang yang menyakitinya. Ironis bukan?

Kembali pada lagu diatas. Menurut Bunda Arsaningsih seorang guru meditasi dengan energi, beliau menyatakan bahwa sebuah lagu adalah sarana mengungkapkan suasana hati, bila sebuah lagu dinyanyikan dengan penuh penjiwaan maka akan mampu menyentuh relung hati kita, dan akan tersimpan dalam rekaman bawah sadar orang yang menyanyikan, syair lagu bisa menjadi semacam affirmasi ke dalam diri. Bila sebuah lagu memuat sesuatu yang salah, tentu saja berarti orang yang menyanyikannya dengan penuh penjiwaan adalah sedang mengaffirmasikan sesuatu yang salah pula ke dalam dirinya. Oleh karena itu sebaiknya memang kita cermat dan selektif memilih lagu agar kita tidak menancapkan pemahaman yang salah ke dalam diri kita. 

Bernyanyilah dengan bijaksana


Just a note :

Bahwa segala tindakan akan dinilai dari niatnya, ketika seseorang berdo'a atau berharap atas nama dendam tentunya tak akan bisa dibenarkan oleh paham atau agama apapun itu.

dari Amirul Mukminin Abu Hafsh, Umar bin Khaththab radhiyallahu 'anhu berkata, aku mendengar Rasulullaah salallahu 'alaihi wassalam bersabda, 
" Sesungguhnya amal-amal itu tergantung dengan niat dan sesungguhnya seseorang itu hanya akan mendapat balasan sebagaimana niatnya. Maka barangsiapa hijrahnya karena Allah & Rasulnya maka hijrahnya kepada Allah dan Rasulnya. Dan barangsiapa hijrahnya diniatkan untuk kepentingan harta dunia yang hendak dicapainya atau karena seseorang wanita yang hendak dinikahinya maka hijrahnya akan dibalas sebagaimana yang ia niatkan." 

Rabu, 23 April 2014

Semesta Menggugah Pagi

Satu pagi lagi kujumpai
di ufuk timur, surya merekah memerah jambu
kicau burung menyanyikan kidung bahagia
kokok ayam bersahutan gembira
Alam mengingatkan manusia untuk kembali pada jasadnya
menagih janji atas kesanggupan memikul amanatNya

Keriap kelopak mataku perlahan membuka
kembalikan jiwa pada kesadaran
berucap syukur
dan meneguhkan kembali syahadat,
pengakuan mutlak atas keEsaanNya
pengakuan atas satu nama sebagai sang jalan untuk membimbing jiwa jiwa manusia menuju khalikNya
dan bermohon, Ya Nuur, Ya Waduud, Ya Qaadiir
ENGKAU lah Sang Maha Cahaya, biarlah CahayaMu hadir menerangi dan membimbingku senantiasa
ENGKAU lah Sang Maha Cinta biarlah CintaMU hadir dan membuatku mengasihi segala ciptaanMu
ENGKAU lah Sang Maha Kuasa biarlah aku menjadi saluran kuasamu untuk senantiasa bekerja demi keseimbangan semesta raya..

Allaahu akbar Allaahu akbar Allahu akbar


Kamis, 03 April 2014

Sunyi

Memasuki awang uwung
Suwung
Ketiadaan
Ruang yang hanya berisi udara tanpa cahaya
Mataku tak mampu menangkap bayang
Tak mampu menatap sosok apapun
Hanya mata jiwa
Melihat kedalam
Menembus nurani
Mencoba mengenali jati diri

Menyepi
Menepi dari hiruk pikuk tak kunjung berhenti
Teringat kata katamu malam itu
Mengapa manusia tak pernah berhenti hingga selarut ini??
Heranmu terbungkus tanya yang tak terjawab olehku
Andai aku mampu membisikmu
Malam ini kan kuajak kau serta dalam sunyi

Aku memasuki sunyi dalam imaji
Kutangkap suasana
Kuresapi makna
Seperti sunyi yang paksa kudapatkan beberapa tahun silam
Kala bumi dihentak dan di goncangkan
Hingga mengerang dan mengaduh dalam nestapa panjang
Tintrim itu pernah menjadi bagian hidupku

Namun bukan, bukan sunyi yang seperti itu
saat ini aku belajar menggenggam sunyi
bukan sunyi yang mencekam
namun sunyi yang menentramkan
sunyi yang damai
pun dalam keramaian
hening.

Selamat Hari Raya Nyepi Tahun Baru Caka 1936 

Kamis, 23 Januari 2014

Menyentuh Bumi



Menyentuh bumi

Luluh
Larut

Berselimut sinar mentari senjakala
Aku terbaring dalam hamparan pasirmu
Berselimut sinar mentari
Aku menyatu dengan pantaimu

Debur ombak bergetar seirama degupan jantungku
Aku menyatu dengan samuderamu

Desah nafas halus larut dalam udara
menarik keluar segala kekotoran
membasuh rongga paru-paruku
Aku menyatu dengan semestamu

O..ibu pertiwi
tanah, air, udaramu menyatu dengan merah darahku
O..ibu pertiwi
Aku mencintaimu seperti kau mengajariku tentang cinta tanpa menuntut balas

Kamis, 02 Januari 2014

Tanah Surga


Lestari alamku, lestari desaku.
Dimana Tuhanku menitipkan aku,
Nyanyi bocah-bocah dikala purnama,
Nyanyikan pujaan untuk nusa..
Damai saudaraku, suburlah negriku,
Kuingat ibuku dongengkan cerita,
Kisah tentang jaya nusantara lama, tentram kerta raharja disana...

Sepenggal nyanyian itu selalu mengajak ingatanku mengelilingi bumi nusantara yang beberapa bagiannya sudah aku jelajahi selama separuh usia hidupku. Hutan tropis yang sejuk dan menenangkan membawakan aroma damai. Sederet pohon kelapa meliuk-liukkan batangnya, dedaunan rampingnya melambaikan salam. Hijau berbaur dengan birunya laut dan langit. Pasir putih menghampar menyambut hangat para tetamu yang menyambangi pantai. Peninggalan-peninggalan bersejarah terserak di setiap jengkal tanah negri ini. Dari jaman purbakala hingga jaman ketika manusia mampu menuliskan prasasti untuk mengabadikan pesan bagi generasi selanjutnya, aneka bangunan-bangunan pemujaan, dari yang sederhana hingga yang megah menjulang di angkasa.

Beberapa abad lampau mereka menamainya dengan Nusantara, dan saat ini lebih di kenal dengan Indonesia. Bangsa ini pernah berjaya dan tanah ini menjadi saksi kejayaannya.  Tanah ini juga pernah menjadi saksi atas darah dan airmata yang tertumpah di pangkuannya. Tanah negri ini merekam jejak jejak perjalanan bangsa kita. 

Namun lazimnya yang terjadi, bahwa melihat kedalam diri sendiri tak semudah memandang orang lain. Begitupun memandang sebuah bangsa. Adalah seseorang yang justru berkebangsaan asing yang mampu menguak masalalu bangsa ini, negeri ini, Atlantis.

Percaya tidak percaya itu adalah keyakinan masing-masing pribadi, namun yang pasti seorang Profesor Santos menguak sejarah, mengemukakan teori Atlantis melalui bukti-bukti yang ilmiah. Dikatakannya bahwa bangsa Atlantis adalah induk dari kebudayaan tertua di bumi ini, yang akhirnya menyebar ke seluruh penjuru bumi. Dikatakan bahwa kehidupan di Atlantis adalah sebuah konsep surga yang mewujud di dunia. Dimana di sana terjadi satu pola kehidupan indah, saling tolong menolong, saling peduli, saling menghormati, harmonis, serasi dan selaras. Kebudayaan berkembang dengan baik, ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan dipelajari oleh bangsa tersebut. Dan, Atlantis itu adalah disini, di Indonesia.

Mungkin beberapa orang meremehkan dan tidak mempercayai teori itu, namun kenyataan-kenyataan tak bisa dipungkiri. Bangsa ini adalah bangsa yang tua, dari peninggalan budayanya secara kasat mata dapat dilihat dan bukti-bukti sejarah memang menunjukkan bahwa memang sudah sejak lama negeri ini memiliki kebudayaan tinggi.

Namun saat ini, bangsa ini sedang dalam siklus kaliyuga, jaman kegelapan. Sebagian besar anak-anak bangsa tak mengenali lagi jatidirinya. Mengagungkan nilai-nilai dan peradaban yang datang dari luar dirinya. Peradaban, budaya dan nilai-nilai agung bangsa ini terbenam dalam berlapis-lapis budaya asing, bahasa ibu dikenal di permukaan saja, kearifan lokal dikenal hanya oleh beberapa gelintir orang yang masih mau belajar. Beberapa orang yang menganggap dirinya pandai, sibuk merumuskan berbagai hal yang katanya untuk memajukan bangsa ini, namun lupa membenahi dirinya sendiri. Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani tinggal sebagai selembar slogan yang terpampang di dinding-dinding sekolah dan bukan meresap dan mengejawantah pada jiwa-jiwa pendidik bangsa ini. Sampai kapan kita kan begini?

Lihatlah, kita punya semuanya, Tuhan sudah menyediakan semua yang kita butuhkan, bukalah mata kebijaksanaan, lihatlah negeri nan subur, gemah ripah loh jinawi. Semua manusianya mengenal Tuhan, marilah lebih dekat lagi mengenalNYA, dengan cara-cara yang kita kenali masing-masing, dengan cara-cara bijaksana dan penuh kerendah hatian, agar apa yang diajarkanNYA mengejawantah di semesta Nusantara dan terwujudlah tata tentrem karta raharja, surga di muka bumi. So be it..

Bukan lautan hanya kolam susu,
Kail dan jala cukup menghidupimu,
Tiada ombak tiada badai kau temui
ikan dan udang menghampiri dirimu.
Orang bilang tanah kita tanah surga,
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman

*ditulis 1 Januari 2014 siang di Penamparan, Indonesia. Terimakasih pada Tuhan, terimakasih pada guru bangsa dan guru jiwaku..