Minggu, 20 Desember 2015

Menyikapi Kesedihan & Kekecewaan

Dalam hidup kita, pasti pernah suatu kali, kita merasa sudah melakukan hal terbaik yang bisa kita lakukan entah itu untuk pasangan, untuk atasan, untuk tetangga, ataupun untuk teman. Namun ternyata, justru kita mendapatkan sesuatu yang jauh dari harapan.
Dengan pasangan, kita sudah memberikan waktu dan perhatian sepenuhnya, namun pasangan kita tega mengkhianati kesetiaannya. Dengan atasan, rasanya semua pekerjaan kita tak ada benarnya dimatanya. Dengan tetangga, kita sudah selalu meminjamkan apa yang dia butuhkan, tapi dia justru menjelek jelekkan kita ke tetangga yang lain. Dengan teman, kita sudah selalu menemaninya di saat saat sulit, namun saat dia sudah sukses ternyata dia menjadi sombong dan tak mengenali kita lagi.  

Sebagai seseorang yang merasa dikhianati, difitnah, diremehkan, ditinggalkan, tentu wajar bila kemudian merasa sedih, kecewa dan sakit hati, bahkan dalam kadar tertentu sampai dendam. Hal tersebut dianggap wajar, tapi apakah itu benar ?

Beberapa orang melakukan pembelaan diri, bahwa wajar bagi seseorang yang disakiti akan membalas, wajar bagi seorang yang dikhianati minimal akan membalas dengan menyumpahi, wajar bila tetangga jahat maka kita tak sudi kenal lagi. Wajar. Tapi apakah itu benar ?

Ego manusia, yaitu konsep individu tentang dirinya sendiri, cenderung menginginkan hal-hal baik yang didapatkan untuk dirinya sendiri, sehingga hal paling mudah untuk membela diri adalah dengan menyalahkan orang lain atau mengkambinghitamkan orang lain sebagai sumber penderitaannya. Karena merasa sebagai “korban” maka dia boleh melakukan apa saja untuk membuat impas keadaan menurut perhitungannya. Hal yang paling ringan yang biasa dilakukan adalah dengan mendoakan hal buruk agar menimpa orang yang dianggap sebagai penyebab  penderitaannya, dan yang paling berat adalah melontarkan sumpah atau bahkan kutukan kepada orang yang dianggap membuatnya menderita tersebut.
Coba bayangkan bila  balasan atas penderitaan berdasar pada perhitungan manusia tersebut yang benar benar digunakan untuk menjalani kehidupan ini, maka kehidupan saling serang dan saling balas dendam seperti yang sering terjadi adalah konsekuensinya. Padahal kecenderungannya balasan yang diberikan manusia itu lebih berat dari penderitaan yang dirasakan. Lantas bagaimanakah kedamaian akan mewujud bila demikian ?

Allah dengan sifat Maha Kasih-Nya memang masih memberi ruang bagi kita yang belum bisa sepenuhnya berserah pada sifat Maha Adil-Nya. DIA begitu memahami manusia, sehingga mengatakan dalam surat An Nahl (16) : 126, “ Dan jika kamu membalas, maka balaslah dengan (balasan) yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang yang sabar.”  Pertanyaan selanjutnya adalah, yang diperbolehkan adalah membalas dengan balasan yang sama, apakah kita benar-benar bisa menghitung dengan tepat bahwa balasan kita sama? Apakah ego kita tidak ikut berbicara dan meminta lebih? Nau’udzubillahi min dzalik. Keburukan hanya akan melahirkan keburukan, tak kan ada akhirnya dan hanya kerusakan yang ditimbulkan.

Lantas, bagaimanakah langkah terbaik yang harus dilakukan bila kita mengalami hal-hal yang menyakitkan, menyedihkan atau mengecewakan seperti diatas ?

1.  Lakukan introspeksi.
Introspeksi adalah langkah terberani yang bisa kita lakukan, karena dengan berani berintrospeksi berarti kita berani mengoreksi diri kita sendiri, berani mengakui ketidaksempurnaan kita sebagai manusia. Karena bagaimanapun juga hal buruk itu terjadi pasti ada sebabnya. Entah secara langsung kita yang memicunya atau bisa juga akibat tak langsung dari hal lain (misalnya, fitnah dll). Ketika kita menyadari bahwa diri kita tak sempurna  maka disitulah kita menuju proses penyempurnaan diri, karena dengan kejadian tersebut kita belajar untuk menjadi lebih baik.

2.  Minta maaf dan memaafkan.
Rasa sedih, kecewa dan kesedihan apalagi dendam adalah beban yang membuat kita lelah, maka alangkah bijaksananya bila kita mau melepaskan beban tersebut. Beban perasaan hanya bisa dilepaskan melalui proses minta maaf dan memaafkan yang benar.

3.  Mengubah cara berpikir.
Memikirkan hal-hal buruk, apalagi membawanya dalam do’a kita akan membawa konsekuensi kembalinya hal buruk tersebut kembali pada kita. Karena pikiran buruk dan doa yang buruk akan menggetarkan frekuensi negative dalam diri kita, dan ini akan menggetarkan frekuensi negative yang sama di alam ini dan justru berbalik pada kita lebih kuat lagi. Sehingga apabila kita sudah menyelesaikan dengan cara meminta maaf dan memaafkan, jangan biarkan pikiran negative berkembang. Segera ubah pikiran kita, pahami bahwa semua orang berproses untuk bisa menjadi lebih baik.  

Diceritakan pada saat turun Surat Al A’raf (7) :  199 “Jadilah pema’af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh”  nabi Muhammad bertanya kepada Malaikat Jibril, “Apa maksud semua ini wahai Jibril?” dan Jibril pun menjawab, “ Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah SWT memerintahkanmu untuk memaafkan orang yang mendzalimimu, memberi kepada orang yang pelit kepadamu, dan menyambung silaturahim kepada orang yang memutuskannya denganmu.”

Pada akhirnya menjadikan kehidupan kita damai hanya bisa didapatkan bila kita aktif mengupayakan kedamaian tersebut terjadi.  

“Ketika sakit hati dan kekecewaan engkau rasakan di hati, jangan salahkan orang lain, karena kamu sendiri yang memperbolehkan diri kamu sakit hati dan kecewa. 
Cepat mengubah suasana hati ini dengan memaafkan dan melupakannya, penuhi kembali hati ini dengan kedamaian”
~Bunda Arsaningsih~



Sumber :

Al Qur’an, Suara Agung Cetakan V

SOUL Reflection, BIP Cetakan II


Salahuddin El Ayyubi MA, m.republica.co.id/berita/-islam/hikmah/11/08/24/lqejr9-membalas-keburukan-dengan-kebaikan

Rabu, 29 Juli 2015

(Sudah) Memaafkan Namun ....

Dalam pergaulan sehari-hari ketika seseorang bertemu dengan orang lain dalam satu lingkup kehidupan, bisa rumahtangga, bertetangga, lingkup pekerjaan, sekolah, kuliah, dan lain sebagainya, tidaklah selamanya memuaskan. Aneka pergesekan pemikiran, pergesekan rasa, salah persepsi, salah paham, perseteruan dan sebagainya akan berdampak pada ditimbulkannya rasa sedih, kecewa, dongkol, marah hingga dendam. Padahal semua rasa yang negatif tersebut mengakibatkan diri kita tak nyaman, dan secara naluri kitapun akan mencari cara untuk mengobati rasa tidak nyaman tersebut.

Untuk kapasitas perseteruan ringan, mungkin sepatah kata maaf akan mampu meluluhkan semua rasa tak nyaman tersebut. Namun dalam taraf perseteruan yang kita anggap lebih berat, yaitu apabila kita menganggap yang berseteru dengan kita tersebut "sudah keterlaluan", atau menginjak-injak "harga diri" kita, maka terkadang maaf itu hanya formalitas di bibir saja, namun dalam hati bara api rasa tidak terima itu masih tersimpan. Bahkan terkadang terucap, "saya sudah memaafkan dia, tapi rasa sakitnya itu tak akan bisa saya lupakan". Atau bisa juga begini, "ya, saya minta memang minta maaf, karena saya nggak mau ribut". Dua konteks pemaafan tersebut, meskipun dua orang dalam posisi yang berbeda, satu yg memaafkan, satu lagi yang meminta maaf, sebenarnya keduanya sama-sama masih belum mau melepaskan emosi negatif dalam hatinya. Mereka tanpa sadar, memerintahkan diri mereka sendiri untuk tidak melepaskan rasa sakit dalam hati mereka tersebut. Mereka mengikat kuat-kuat rasa sakit hati itu dengan jiwa mereka sendiri. Dan saat ada pemicu yang membuat rasa itu muncul lagi, jari merekapun sibuk menunjuk orang lain yang dianggap menyebabkan dia sakit hati hingga tak bisa melupakan rasa sakitnya.
Apakah hal tersebut bisa disebut sebagai sudah memaafkan/meminta maaf?

Pertanyaannya adalah, mengapa seseorang cenderung untuk mempertahankan rasa yang negatif, padahal itu menyakitkan?

Setiap orang sebenarnya selalu memiliki pilihan dalam hidupnya, namun tidak semua orang mampu menjalani pilihannya. Contohnya, orang yang sudah (berusaha) memaafkan, namun belum bisa melupakan rasa sakitnya. Dia sudah memilih untuk memaafkan, sekuat tenaga dia berusaha bisa melupakan, namun ternyata, tetap saja dia belum mampu sepenuhnya memaafkan (menghilangkan rasa sakitnya). Hal ini apabila dikaji dari pemahaman energi dalam SOUL Reflection, maka ternyata proses meminta maaf dan memaafkan ini adalah proses energi, jadi bukan sekedar proses kata-kata. Untuk mampu memaafkan hingga benar-benar hilang rasa sakitnya (ingat kejadiannya, tapi sudah tidak terasa sakit hatinya), dibutuhkan sejumlah energi yang cukup, terutama energi cinta dan kekuatan. Energi inilah yang akan bekerja dalam diri seseorang hingga dia mampu melepaskan semua emosi, pikiran dan perasaan yang negatif dalam dirinya sehingga dirinya menjadi damai. Namun memang untuk mampu memiliki cinta kasih yang stabil dibutuhkan teknik, latihan dan kesadaran untuk terus menerus menjaganya agar tetap ada dalam diri kita.

Terimakasih kepada Bunda Arsaningsih yang telah mengajarkan teknik tersebut melalui SOUL Reflection, sehingga menjadi jiwa yang benar-benar damai itu bukanlah hanya wacana saja. 






Kamis, 09 Juli 2015

Memberikan Kepercayaan dan Cinta Pada Anak-anak Kita

Menjadi ayah dan ibu, adalah hal yang bisa dijalani oleh setiap laki-laki dan perempuan. Namun menjadi orang tua yang bijaksana bagi anak-anak kita, membutuhkan satu pengetahuan tersendiri. Begitu juga melahirkan dan membesarkan anak, jauh lebih mudah daripada mendidik dan mengasuhnya.
Seorang anak, terlahir dari benih ayah dan ibunya, Ayah dan ibu merasa anak adalah bagian dari dirinya, maka terkadang ayah dan ibu menjadi lupa, karena saking inginnya si anak menjadi orang "sukses" menurut kacamata mereka maka, ayah dan ibu membuat ketentuan-ketentuan pada anaknya, bahwa si anak harus sekolah di tempat terhebat, termahal, terfavorit, yang terkadang justru membuat anak tidak nyaman menjalani kehidupannya. "Menyiksa" dan membuatnya menderita dibalik pembenaran/kedok untuk "masa depannya" yang lebih baik.

Marilah kita para ayah dan ibu sejenak merenung, kita kembali pada hakikat awalnya. Seorang anak adalah amanah, titipan Tuhan, lazim kita sebut sebagai buah cinta. Anak adalah wujud cinta Tuhan pada manusia, ladang amal untuk ayah dan ibunya, maka seyogyanya anak adalah tempat curahan kasih sayang dari kedua orang tuanya.
Namun lihatlah, di zaman akhir ini, nilai-nilai dari Tuhan demikian tergerus, dan manusia hidup dalam "lupa"nya, tanpa sadar dengan kesombongan menggantikan nilai nilai Tuhan itu dengan nilai-nilai yang dibuatnya sendiri.

Satu contoh adalah pengalaman saya, mudah-mudahan bisa menjadi bahan pembelajaran bagi ayah ibu yang memerlukannya. 
Saya membesarkan anak-anak saya dalam hal pendidikan, nyaris tanpa kendala, dan saya sangat bersyukur akan hal tersebut. Disaat orang lain menuntut anak-anaknya harus bersekolah di sekolah terfavorit, saya santai-santai saja, namun ternyata mereka mampu mendapat yang terbaik. TK, SD pindah-pindah dari Solo, Samarinda dan akhirnya Yogyakarta. Anak-anak saya sekolah di SD Negeri dan SMP Negeri dengan kualitas sedang-sedang saja. Namun dengan usaha mereka sendiri ternyata mereka mampu masuk di SMA terbaik di Yogyakarta yang berstandar internasional, dan juga masuk ke Perguruan Tinggi Negri terbaik di negeri ini. Mungkin saya terlena, terbiasa mendapat fasilitas VVIP dari Tuhan. Mungkin kesombongan saya juga mulai tersemai. Setahun, dua tahun berlalu, saya merasa semua baik-baik saja,saya lupa, sepertinya saya mulai tidak rutin memperhatikan mereka. Mereka seperti pohon yang tumbuh sendiri, dan saya pun sibuk sendiri, asyik dengan pekerjaan dan dunia saya di kota yang berbeda. Walaupun saya sudah belajar pada seorang Guru tentang perihal budi pekerti dalam kehidupan, namun ternyata, setiap pengetahuan tak pernah menjadi absah jika tanpa melalui ujian, dan kita harus lulus. Saya merasa bisa mengendalikan semua dari jauh.
Dan akhirnya Tuhan menyentil saya.

Suatu sore pada bulan Oktober/November 2014 silam, anak saya mengirim pesan singkatnya, "Ibu aku bisa telpon?", Akhirnya saya keluar ruangan kantor dan saya menelponnya. Dahsyat. Anak saya, laki-laki, dia menangis, memohon maaf, memohon ampun pada saya, ibunya, karena merasa dia gagal menjadi anak, dia merasa gagal kuliah. Dia ketakutan bila di DO dari kampusnya, dan terlebih lagi dia ketakutan teramat sangat pada ayahnya. Dia memiliki trauma kekerasan pada ayahnya, yang cukup besar, dan dia saya sadar sepenuhnya, dia juga memiliki trauma pada saat dalam kandungan saya sehubungan dengan proses study. Saya lemas, kota tempat saya bekerja dengan tempat anak saya tinggal membutuhkan 9 jam perjalanan. Sementara anak saya disana menangis, nyaris putus asa. Dia merasa hidupnya sudah tak berguna, tak ada gunanya melanjutkan hidupnya. Dan dia sempat mengatakan apakah ibu tidak malu bila aku tak kuliah di perguruan tinggi ini? Jujur, sempat terbersit rasa kecewa dengan dia, sudah baik-baik kuliah disitu kenapa sih mesti bilang nggak kuat, toh tinggal menjalani saja, pikir saya. Namun kembali saya teringat, saya tak boleh memaksakan kehendak saya gengsi saya sebagai ibu yang berhasil mengkuliahkan anak anaknya di perguruan tinggi favorit. Saya berproses dengan diri saya sendiri. Saya berusaha keras menundukkan ego saya.
Saya diam dan menahan semuanya. Hanya satu kata Bunda, guru saya yang saya ingat, tidak perlu cemas, serahkan semua pada Tuhan, karena setiap jiwa memiliki jalan hidupnya masing-masing. Relakan apapun yang terjadi, hanya akan terjadi bila memang mjd kehendak Tuhan. Sambil terus berdoa dan mengirimkan cinta padanya. 

Tuhan mengatur semuanya dengan begitu indah.
Saat-saat tergelap itu, di Bali digelar acara conference Happy & Healthy Mind Body & Soul oleh Bunda Arsaningsih, bukan kebetulan. Dan bukan kebetulan juga bahwa anak saya mau mengikuti acara tersebut. Hanya satu tujuan saya, semoga dia bisa berpikir dengan sehat, dan bisa melepas traumanya. Namun ada satu hal yang membuat saya gamang untuk mengikuti acara tersebut, biaya.
Tapi saya bertekad harus berangkat, meskipun saya harus naik bus ekonomi, yang penting mbuh pie carane anakku kudu tekan Bali dan ketemu Bunda Arsaningsih.
Dan lagi lagi Tuhan begitu baik, permohonan cuti saya diijinkan, dan bahkan tanpa saya meminta, justru pada hari-hari yang berturutan tersebut saya malah mendapatkan tugas kantor ke Bali, walaupun saya tetap mengemukakan pada atasan bahwa saya tidak keberatan bila saat cuti keberangkatan ke Bali atas biaya sendiri dgn naik bus, ternyata atasan saya memberi kelonggaran tiket pesawat maju menyesuaikan jadwal curti. Dengan kata lain, saya tidak perlu mengeluarkan biaya pribadi untuk transport saya. Saya tinggal memikirkan anak saya. Dan keberangkatan anak sayapun mendapat support berupa pinjaman dari teman baik saya (makasih meneer pinjaman tiketnya waktu itu) Tak ada yang kebetulan, semua diatur begitu rapi, tak ada keraguan lagi, Tuhan Maha Baik.
Dan benar, dalam agenda acara yang berlangsung 3 hari itu, salah satu nya adalah melepaskan trauma yang terekam dalam pikiran bawah sadar. Meskipun jujur, saya tak berani berharap banyak, namun yang penting perhatian anak saya bisa teralihkan sejenak. Dalam acara tersebut selain pengetahuan anak saya juga mendapatkan limpahan kasih sayang dari semua keluarga yang tergabung dalam SOUL comunnity dan tentusaja support moral dan energy dari Bunda Arsaningsih. Saya sedikit lega.

Hari berganti hari, bulan berganti bulan, anak saya membulatkan tekadnya utk mengikuti test lagi. Belum banyak perkembangan yang terlihat dari hasil dia mengikuti conference Happy Healthy Mind Body & Soul. Ya sudah, saya tak mau berpikir. Biarlah semua terjadi menurut kehendak Allah.
Hingga sehari menjelang pendaftaran perguruan tinggi, anak saya menelpon, dan menanyakan apakah bila dia menelpon ayahnya, ayahnya akan marah? Saya kuatkan dia malam itu, saya yakinkan bahwa beliau tak akan marah. Akhirnya, sesuatu yang beku itu, yang menjadi trauma selama bertahun tahun cair, subhanallaah.. Allahu akbar. Akhirnya ujian kesabaran pun teruji sudah, memang sabar itu benar benar butuh perjuangan, dan saya teringat kata-kata Bunda Arsaningsih, bahwa, semua benih butuh waktu untuk bertumbuh. Begitupun saat trauma itu dilepas dari anak saya, barulah benih keberanian mulai bersemi, dan baru berbuah beberapa bulan kemudian. 

Test sudah dilalui anak saya, kami pun menyerahkan semua pada Tuhan, karena jujur, bila saya memikirkannya, maka pikiran buruklah yang akan muncul, karena biasanya test bagi mahasiswa yang sudah kuliah disitu itu jauh lebih kans nya utk bisa diterima. Jadi saya berusaha menstop pikiran dan perasaan saya. Dan berusaha selalu mensupport dari jauh dengan doa dan cinta saat anak saya pada saat saat tertentu merasa galau lagi.

9 Juli 2015. 
Waktu pengumuman itu tiba, siang di sela sela pekerjaan saya hubungi anak saya, untuk menanyakan pengumuman hasil testnya, dan ternyata masih pukul 17.00 diumumkan. Menjelang pengumuman itu anak saya gelisah bukan main, dia tidak berani membuka website. Ketakutan dan kembali merasa terpuruk. Saya berusaha menghubungi ayahnya, ayahnya bercerita bahwa tadi saat ditelpon anak kami bersedih yang teramat dalam, Namun kami, ayah dan ibunya berusaha tetap tenang, karena kami sadar, bahwa ukuran kesuksesan bagi anak anak kami bukanlah dimana dia kuliah, atau apa pekerjaan dia nanti, namun yang terpenting adalah, dia bertanggungjawab atas hidupnya sendiri.
Dan akhirnya menjelang pukul 21.00 wib pengumuman bisa diakses, dan subhanallah wal hamdulillah Allahu akbar, dia diterima di perguruan tinggi dan fakultas yang dia impikan. Tuhan, terimakasih.

Akhirnya, tulisan ini saya dedikasikan kepada guru saya Bunda Arsaningsih, yang telah membimbing kami sekeluarga, dan khususnya saya untuk bisa mengendalikan pikiran, melepas kecemasan dan mengisi perasaan dengan hal-hal positif agar, hal positif juga yang mewujud dalam hidup kita. Terimakasih sudah menuliskan pelajaran tentang kehidupan melalui buku Soul Reflection, sehingga jarak dan waktu tak menjadi batasan untuk terus belajar.

" Biarkan mereka mengalami masalah, jangan kita merasa cemas dengan masalah yang mereka hadapi karena mereka akan belajar dengan masalah tersebut. Pahami lebih dalam, mereka memang harus mendapat masalah tersebut karena itulah yang mereka tanam dahulu, atau itulah hasil perbuatan yang mereka terima saat ini. Sebagai orang tua, kita tidak dapat menghindarkan anak-anak kita. Belajarlah untuk tidak terikat dengan anak-anak kita karena mereka mempunyai suratan takdir masing-masing. 
Sebagai orang tua, kita hanya berperan untuk membantu mereka bertumbuh, mendampingi mereka ketika mereka berada dalam kesulitan, memberi penguatan untuk membuat mereka lebih bersemangat dan melimpahi mereka dengan perhatian dan cinta."
( #soulreflection page 134-135)

Jumat, 22 Mei 2015

Tetap Bahagia dengan Menerima Semua Apa Adanya

Berinteraksi dengan orang lain dalam pergaulan sehari-hari rasanya adalah hal yang sangat sepele. Semua orang pasti menjalani, karena sebagai makhluk sosial, tentu saja manusia tak bisa berdiri sendiri, selalu saling membutuhkan satu sama lain dan melewati berbagai macam bentuk interaksi. Namun di lain sisi, manusia juga berfungsi sebagai makhluk individu, yang memiliki ego dan karakter tersendiri. Dengan ego dan karakter ini manusia memiliki kehendak dan sifatnya masing-masing.
Dari berbagai fakta tentang manusia inilah nantinya yang akan membentuk satu pola pergaulan dalam kehidupan, dimana manusia akan berinteraksi satu dengan lainnya, selain untuk memenuhi kebutuhannya sebagai makhluk sosial, sekaligus manusia juga akan menyuarakan keinginannya seperti karakter yang dimilikinya.

Semenjak kecil, kita semua tentunya diajarkan oleh orang tua kita bagaimana bergaul, berinteraksi yang baik dengan teman-teman kita. Mungkin dulu waktu kecil mudah saja kita berteman, berantem, lalu berteman kembali tanpa sakit hati. Karena memang jiwa kanak-kanak masih murni, sehingga lebih mudah memaafkan dan melupakan. Namun seiring bertambah usia, bertambah pengalaman hidup, maka mulailah terbentuk karakter dari masing-masing kita. Disinilah dinamika kehidupan dimulai. 

Pergaulan yang seharusnya hanya sebagai sarana untuk berinteraksi menuju tujuan utama hidup, terkadang akhirnya justru menjadi sumber masalah. Misalnya, kita bekerja di sebuah kantor, disitu kita mendapati atasan yang sangat otoriter dan mendominasi sehingga kita sangat tertekan, kreativitas kita hilang dan kita merasa sangat menderita menjalani pekerjaan, walaupun sebenarnya pekerjaan tersebut adalah hal yang sangat kita kuasai. Atau misalnya, kita memiliki teman yang dicap sebagai orang yang kekanak-kanakan dan maunya menang sendiri, sehingga dalam setiap proyek dia selalu membuat tak nyaman rekan satu tim. Atau dalam rumahtangga, kita memiliki suami yang pemalas dan menganggur, sehingga di rumah kita menjadi selalu uring-uringan. Hal-hal tersebut diatas adalah hal hal yang sangat lazim ada disekitar kita, atau mungkin justru kita sendiri yang mengalaminya. 

Disaat diri kita yang ada dalam pusaran kejadian tersebut diatas, maka yang muncul adalah rasa menderita, kecewa terhadap orang lain tersebut, sedih, marah, dan seterusnya, yang intinya kita merasa kitalah yang menjadi korban akibat orang lain yang seenaknya saja. Bila ini terus berlanjut, maka  kita membelitkan diri didalam masalah tanpa kunjung usai,  maka tanpa terasa kita tidak move on, dan tetap stuck di tempat dan melupakan tujuan kita sebenarnya.

Rasanya sulit sekali melepaskan diri. Apakah tidak ada solusi untuk hal tersebut ??

Dalam Soul Reflection yang pernah saya pelajari, kita akan mengetahui bahwa, kemarahan, kecemasan, kesedihan dan kekecewaan bisa terjadi karena kita belum memiliki cukup kerendah hatian, kita masih memprioritaskan ego kita diatas kepentingan orang lain. Maka pemahaman lebih dalam tentang jiwa akan membantu kita untuk bisa mengerti mengapa orang lain berlaku seperti itu. Bila semua telah diketahui, tentu kita tidak lagi akan mentang-mentang dan mengacungkan telunjuk kita untuk menuduh orang lain sebagai biang permasalahan, namun justru kita yang akan introspeksi diri, lalu dengan penuh kesadaran mengubah pola pikir kita. Untuk membuat gambaran yang baik, melalui kata-kata positif dalam afirmasi dan membayangkan bahwa orang-orang disekitar kita tersebut bukanlah trouble maker, mereka hanyalah orang yang kurang memahami orang lain, mereka berubah menjadi baik, bijaksana, bisa bertoleransi, rajin, dan tahu sopan santun, dan berbagai hal positif lain yang kita inginkan, lalu serahkan semua pada Tuhan. Karena kita tahu, hanya Tuhanlah yang berhak memutuskan, bukan kita.

Dengan mengubah mindset kita menjadi positif, maka semua juga akan mengikuti. Perasaan kita pasti menjadi lebih nyaman, tenang dan lebih berbahagia. Dan dengan segenap kerendahan hati kita akan menyadari bahwa kita tidak bisa menuntut semua orang seperti mau kita, karena semua memiliki latar belakang dan proses yang berbeda. Dan yang pasti pada akhirnya kita menjadi paham bahwa kita justru harus bersyukur karena dengan bertemu dengan mereka yang sulit, kita mendapat kesempatan untuk belajar bersabar, memahami dan berbuat baik melalui doa-doa yang baik untuk mereka tanpa mereka minta. 

Lebih dalam lagi pemahaman ini adalah dengan metode Soul Meter, dimana kita bisa mengukur seberapa banyak emosi kemarahan kita memancar, seberapa sedih kita, seberapa kecewa kita, sehingga setelah kita melakukan perubahan mindset bisa kita lakukan evaluasi/kroscek, apakah semua emosi, kemarahan, kesedihan, kekecewaan yang tadi sudah kita bersihkan benar-benar sudah bisa kembali nol? Bila belum nol, kita akan terus berusaha memurnikan diri lebih dalam lagi dengan benar-benar terukur.


Semua sangat mudah bila kita memahami Soul Reflection dan Soul Meter. Itulah mengapa Soul is Soulution.