Rabu, 29 Juli 2015

(Sudah) Memaafkan Namun ....

Dalam pergaulan sehari-hari ketika seseorang bertemu dengan orang lain dalam satu lingkup kehidupan, bisa rumahtangga, bertetangga, lingkup pekerjaan, sekolah, kuliah, dan lain sebagainya, tidaklah selamanya memuaskan. Aneka pergesekan pemikiran, pergesekan rasa, salah persepsi, salah paham, perseteruan dan sebagainya akan berdampak pada ditimbulkannya rasa sedih, kecewa, dongkol, marah hingga dendam. Padahal semua rasa yang negatif tersebut mengakibatkan diri kita tak nyaman, dan secara naluri kitapun akan mencari cara untuk mengobati rasa tidak nyaman tersebut.

Untuk kapasitas perseteruan ringan, mungkin sepatah kata maaf akan mampu meluluhkan semua rasa tak nyaman tersebut. Namun dalam taraf perseteruan yang kita anggap lebih berat, yaitu apabila kita menganggap yang berseteru dengan kita tersebut "sudah keterlaluan", atau menginjak-injak "harga diri" kita, maka terkadang maaf itu hanya formalitas di bibir saja, namun dalam hati bara api rasa tidak terima itu masih tersimpan. Bahkan terkadang terucap, "saya sudah memaafkan dia, tapi rasa sakitnya itu tak akan bisa saya lupakan". Atau bisa juga begini, "ya, saya minta memang minta maaf, karena saya nggak mau ribut". Dua konteks pemaafan tersebut, meskipun dua orang dalam posisi yang berbeda, satu yg memaafkan, satu lagi yang meminta maaf, sebenarnya keduanya sama-sama masih belum mau melepaskan emosi negatif dalam hatinya. Mereka tanpa sadar, memerintahkan diri mereka sendiri untuk tidak melepaskan rasa sakit dalam hati mereka tersebut. Mereka mengikat kuat-kuat rasa sakit hati itu dengan jiwa mereka sendiri. Dan saat ada pemicu yang membuat rasa itu muncul lagi, jari merekapun sibuk menunjuk orang lain yang dianggap menyebabkan dia sakit hati hingga tak bisa melupakan rasa sakitnya.
Apakah hal tersebut bisa disebut sebagai sudah memaafkan/meminta maaf?

Pertanyaannya adalah, mengapa seseorang cenderung untuk mempertahankan rasa yang negatif, padahal itu menyakitkan?

Setiap orang sebenarnya selalu memiliki pilihan dalam hidupnya, namun tidak semua orang mampu menjalani pilihannya. Contohnya, orang yang sudah (berusaha) memaafkan, namun belum bisa melupakan rasa sakitnya. Dia sudah memilih untuk memaafkan, sekuat tenaga dia berusaha bisa melupakan, namun ternyata, tetap saja dia belum mampu sepenuhnya memaafkan (menghilangkan rasa sakitnya). Hal ini apabila dikaji dari pemahaman energi dalam SOUL Reflection, maka ternyata proses meminta maaf dan memaafkan ini adalah proses energi, jadi bukan sekedar proses kata-kata. Untuk mampu memaafkan hingga benar-benar hilang rasa sakitnya (ingat kejadiannya, tapi sudah tidak terasa sakit hatinya), dibutuhkan sejumlah energi yang cukup, terutama energi cinta dan kekuatan. Energi inilah yang akan bekerja dalam diri seseorang hingga dia mampu melepaskan semua emosi, pikiran dan perasaan yang negatif dalam dirinya sehingga dirinya menjadi damai. Namun memang untuk mampu memiliki cinta kasih yang stabil dibutuhkan teknik, latihan dan kesadaran untuk terus menerus menjaganya agar tetap ada dalam diri kita.

Terimakasih kepada Bunda Arsaningsih yang telah mengajarkan teknik tersebut melalui SOUL Reflection, sehingga menjadi jiwa yang benar-benar damai itu bukanlah hanya wacana saja. 






Kamis, 09 Juli 2015

Memberikan Kepercayaan dan Cinta Pada Anak-anak Kita

Menjadi ayah dan ibu, adalah hal yang bisa dijalani oleh setiap laki-laki dan perempuan. Namun menjadi orang tua yang bijaksana bagi anak-anak kita, membutuhkan satu pengetahuan tersendiri. Begitu juga melahirkan dan membesarkan anak, jauh lebih mudah daripada mendidik dan mengasuhnya.
Seorang anak, terlahir dari benih ayah dan ibunya, Ayah dan ibu merasa anak adalah bagian dari dirinya, maka terkadang ayah dan ibu menjadi lupa, karena saking inginnya si anak menjadi orang "sukses" menurut kacamata mereka maka, ayah dan ibu membuat ketentuan-ketentuan pada anaknya, bahwa si anak harus sekolah di tempat terhebat, termahal, terfavorit, yang terkadang justru membuat anak tidak nyaman menjalani kehidupannya. "Menyiksa" dan membuatnya menderita dibalik pembenaran/kedok untuk "masa depannya" yang lebih baik.

Marilah kita para ayah dan ibu sejenak merenung, kita kembali pada hakikat awalnya. Seorang anak adalah amanah, titipan Tuhan, lazim kita sebut sebagai buah cinta. Anak adalah wujud cinta Tuhan pada manusia, ladang amal untuk ayah dan ibunya, maka seyogyanya anak adalah tempat curahan kasih sayang dari kedua orang tuanya.
Namun lihatlah, di zaman akhir ini, nilai-nilai dari Tuhan demikian tergerus, dan manusia hidup dalam "lupa"nya, tanpa sadar dengan kesombongan menggantikan nilai nilai Tuhan itu dengan nilai-nilai yang dibuatnya sendiri.

Satu contoh adalah pengalaman saya, mudah-mudahan bisa menjadi bahan pembelajaran bagi ayah ibu yang memerlukannya. 
Saya membesarkan anak-anak saya dalam hal pendidikan, nyaris tanpa kendala, dan saya sangat bersyukur akan hal tersebut. Disaat orang lain menuntut anak-anaknya harus bersekolah di sekolah terfavorit, saya santai-santai saja, namun ternyata mereka mampu mendapat yang terbaik. TK, SD pindah-pindah dari Solo, Samarinda dan akhirnya Yogyakarta. Anak-anak saya sekolah di SD Negeri dan SMP Negeri dengan kualitas sedang-sedang saja. Namun dengan usaha mereka sendiri ternyata mereka mampu masuk di SMA terbaik di Yogyakarta yang berstandar internasional, dan juga masuk ke Perguruan Tinggi Negri terbaik di negeri ini. Mungkin saya terlena, terbiasa mendapat fasilitas VVIP dari Tuhan. Mungkin kesombongan saya juga mulai tersemai. Setahun, dua tahun berlalu, saya merasa semua baik-baik saja,saya lupa, sepertinya saya mulai tidak rutin memperhatikan mereka. Mereka seperti pohon yang tumbuh sendiri, dan saya pun sibuk sendiri, asyik dengan pekerjaan dan dunia saya di kota yang berbeda. Walaupun saya sudah belajar pada seorang Guru tentang perihal budi pekerti dalam kehidupan, namun ternyata, setiap pengetahuan tak pernah menjadi absah jika tanpa melalui ujian, dan kita harus lulus. Saya merasa bisa mengendalikan semua dari jauh.
Dan akhirnya Tuhan menyentil saya.

Suatu sore pada bulan Oktober/November 2014 silam, anak saya mengirim pesan singkatnya, "Ibu aku bisa telpon?", Akhirnya saya keluar ruangan kantor dan saya menelponnya. Dahsyat. Anak saya, laki-laki, dia menangis, memohon maaf, memohon ampun pada saya, ibunya, karena merasa dia gagal menjadi anak, dia merasa gagal kuliah. Dia ketakutan bila di DO dari kampusnya, dan terlebih lagi dia ketakutan teramat sangat pada ayahnya. Dia memiliki trauma kekerasan pada ayahnya, yang cukup besar, dan dia saya sadar sepenuhnya, dia juga memiliki trauma pada saat dalam kandungan saya sehubungan dengan proses study. Saya lemas, kota tempat saya bekerja dengan tempat anak saya tinggal membutuhkan 9 jam perjalanan. Sementara anak saya disana menangis, nyaris putus asa. Dia merasa hidupnya sudah tak berguna, tak ada gunanya melanjutkan hidupnya. Dan dia sempat mengatakan apakah ibu tidak malu bila aku tak kuliah di perguruan tinggi ini? Jujur, sempat terbersit rasa kecewa dengan dia, sudah baik-baik kuliah disitu kenapa sih mesti bilang nggak kuat, toh tinggal menjalani saja, pikir saya. Namun kembali saya teringat, saya tak boleh memaksakan kehendak saya gengsi saya sebagai ibu yang berhasil mengkuliahkan anak anaknya di perguruan tinggi favorit. Saya berproses dengan diri saya sendiri. Saya berusaha keras menundukkan ego saya.
Saya diam dan menahan semuanya. Hanya satu kata Bunda, guru saya yang saya ingat, tidak perlu cemas, serahkan semua pada Tuhan, karena setiap jiwa memiliki jalan hidupnya masing-masing. Relakan apapun yang terjadi, hanya akan terjadi bila memang mjd kehendak Tuhan. Sambil terus berdoa dan mengirimkan cinta padanya. 

Tuhan mengatur semuanya dengan begitu indah.
Saat-saat tergelap itu, di Bali digelar acara conference Happy & Healthy Mind Body & Soul oleh Bunda Arsaningsih, bukan kebetulan. Dan bukan kebetulan juga bahwa anak saya mau mengikuti acara tersebut. Hanya satu tujuan saya, semoga dia bisa berpikir dengan sehat, dan bisa melepas traumanya. Namun ada satu hal yang membuat saya gamang untuk mengikuti acara tersebut, biaya.
Tapi saya bertekad harus berangkat, meskipun saya harus naik bus ekonomi, yang penting mbuh pie carane anakku kudu tekan Bali dan ketemu Bunda Arsaningsih.
Dan lagi lagi Tuhan begitu baik, permohonan cuti saya diijinkan, dan bahkan tanpa saya meminta, justru pada hari-hari yang berturutan tersebut saya malah mendapatkan tugas kantor ke Bali, walaupun saya tetap mengemukakan pada atasan bahwa saya tidak keberatan bila saat cuti keberangkatan ke Bali atas biaya sendiri dgn naik bus, ternyata atasan saya memberi kelonggaran tiket pesawat maju menyesuaikan jadwal curti. Dengan kata lain, saya tidak perlu mengeluarkan biaya pribadi untuk transport saya. Saya tinggal memikirkan anak saya. Dan keberangkatan anak sayapun mendapat support berupa pinjaman dari teman baik saya (makasih meneer pinjaman tiketnya waktu itu) Tak ada yang kebetulan, semua diatur begitu rapi, tak ada keraguan lagi, Tuhan Maha Baik.
Dan benar, dalam agenda acara yang berlangsung 3 hari itu, salah satu nya adalah melepaskan trauma yang terekam dalam pikiran bawah sadar. Meskipun jujur, saya tak berani berharap banyak, namun yang penting perhatian anak saya bisa teralihkan sejenak. Dalam acara tersebut selain pengetahuan anak saya juga mendapatkan limpahan kasih sayang dari semua keluarga yang tergabung dalam SOUL comunnity dan tentusaja support moral dan energy dari Bunda Arsaningsih. Saya sedikit lega.

Hari berganti hari, bulan berganti bulan, anak saya membulatkan tekadnya utk mengikuti test lagi. Belum banyak perkembangan yang terlihat dari hasil dia mengikuti conference Happy Healthy Mind Body & Soul. Ya sudah, saya tak mau berpikir. Biarlah semua terjadi menurut kehendak Allah.
Hingga sehari menjelang pendaftaran perguruan tinggi, anak saya menelpon, dan menanyakan apakah bila dia menelpon ayahnya, ayahnya akan marah? Saya kuatkan dia malam itu, saya yakinkan bahwa beliau tak akan marah. Akhirnya, sesuatu yang beku itu, yang menjadi trauma selama bertahun tahun cair, subhanallaah.. Allahu akbar. Akhirnya ujian kesabaran pun teruji sudah, memang sabar itu benar benar butuh perjuangan, dan saya teringat kata-kata Bunda Arsaningsih, bahwa, semua benih butuh waktu untuk bertumbuh. Begitupun saat trauma itu dilepas dari anak saya, barulah benih keberanian mulai bersemi, dan baru berbuah beberapa bulan kemudian. 

Test sudah dilalui anak saya, kami pun menyerahkan semua pada Tuhan, karena jujur, bila saya memikirkannya, maka pikiran buruklah yang akan muncul, karena biasanya test bagi mahasiswa yang sudah kuliah disitu itu jauh lebih kans nya utk bisa diterima. Jadi saya berusaha menstop pikiran dan perasaan saya. Dan berusaha selalu mensupport dari jauh dengan doa dan cinta saat anak saya pada saat saat tertentu merasa galau lagi.

9 Juli 2015. 
Waktu pengumuman itu tiba, siang di sela sela pekerjaan saya hubungi anak saya, untuk menanyakan pengumuman hasil testnya, dan ternyata masih pukul 17.00 diumumkan. Menjelang pengumuman itu anak saya gelisah bukan main, dia tidak berani membuka website. Ketakutan dan kembali merasa terpuruk. Saya berusaha menghubungi ayahnya, ayahnya bercerita bahwa tadi saat ditelpon anak kami bersedih yang teramat dalam, Namun kami, ayah dan ibunya berusaha tetap tenang, karena kami sadar, bahwa ukuran kesuksesan bagi anak anak kami bukanlah dimana dia kuliah, atau apa pekerjaan dia nanti, namun yang terpenting adalah, dia bertanggungjawab atas hidupnya sendiri.
Dan akhirnya menjelang pukul 21.00 wib pengumuman bisa diakses, dan subhanallah wal hamdulillah Allahu akbar, dia diterima di perguruan tinggi dan fakultas yang dia impikan. Tuhan, terimakasih.

Akhirnya, tulisan ini saya dedikasikan kepada guru saya Bunda Arsaningsih, yang telah membimbing kami sekeluarga, dan khususnya saya untuk bisa mengendalikan pikiran, melepas kecemasan dan mengisi perasaan dengan hal-hal positif agar, hal positif juga yang mewujud dalam hidup kita. Terimakasih sudah menuliskan pelajaran tentang kehidupan melalui buku Soul Reflection, sehingga jarak dan waktu tak menjadi batasan untuk terus belajar.

" Biarkan mereka mengalami masalah, jangan kita merasa cemas dengan masalah yang mereka hadapi karena mereka akan belajar dengan masalah tersebut. Pahami lebih dalam, mereka memang harus mendapat masalah tersebut karena itulah yang mereka tanam dahulu, atau itulah hasil perbuatan yang mereka terima saat ini. Sebagai orang tua, kita tidak dapat menghindarkan anak-anak kita. Belajarlah untuk tidak terikat dengan anak-anak kita karena mereka mempunyai suratan takdir masing-masing. 
Sebagai orang tua, kita hanya berperan untuk membantu mereka bertumbuh, mendampingi mereka ketika mereka berada dalam kesulitan, memberi penguatan untuk membuat mereka lebih bersemangat dan melimpahi mereka dengan perhatian dan cinta."
( #soulreflection page 134-135)