Dalam sejarahnya Yogyakarta dikenal sebagai kota yang aman, tenang dan damai. Ketika terjadi kerusuhan pada tahun 1998 di berbagai kota, di Yogyakarta justru terjadi aksi damai yang di dukung oleh berbagai macam elemen masyarakat dan dari semua suku yang tinggal di Yogyakarta. Semua berkomitmen untuk menjaga kedamaian di Yogyakarta. Saat itu teriakan damai benar benar mampu meredam dan membentengi arus kekerasan dari kota lain di dekatnya, hingga perusuh tak mampu menembus masuk Yogya.
Namun beberapa hari yang lalu, terdengar kabar tentang terjadinya aksi kekerasan di tanah Yogyakarta, berbagai macam isu berkembang simpang siur, namun yang paling keras terdengar bahwa kekerasan itu berbau "sara". Dari segi manapun memang kekerasan tak bisa dibenarkan, apalagi yang terjadi tersebut adalah sebuah penyerangan pada sekelompok orang yang sedang melakukan do'a bersama. Di sosial media, pihak pihak yang merasa bersimpati dengan korban berteriak keras dan tajam, aroma tuduhan, menyalahkan dan foto korban memang cukup untuk membuat bergidik dan mendidihkan rasa tidak terima atas ketidakadilan.
Terdengar keras kecaman tentang perilaku kekerasan, kasus kekerasan dengan isu sara memang membuat miris, bagaimanakah cara mengatasinya? Cukupkah dengan diam dan menyerahkan pada pihak yang berwajib? Atau haruskan dilakukan penghakiman oleh masyarakat karena merasa tidak puas dengan hukum yang ada? Atau semua harus berteriak dengan keras mengecam kekerasan tersebut? Bisakah itu mengubah keadaan dan mengubah kesadaran pelaku kekerasan hingga ke akarnya?
Sebatang pohon yang tak berakar dalam akan mudah tumbang tertiup angin, dan bangsa yang lupa bagaimana akarnya akan mudah dibawa kepada paham paham yang sebenarnya dia tak benar benar memahaminya.
Semenjak lama, nenek moyang bangsa ini sudah memiliki filosofi, ajaran budi, dimana mereka tahu, kekerasan bukanlah untuk dilawan dengan kekerasan, namun kekerasan hanya bisa musnah apabila pelakunya disadarkan atas perilakunya tersebut. Menghadapi kekerasan dengan represif memang bisa menghentikan sementara kekerasan tersebut, karena pelaku jera akibat takut akan hukuman yang setimpal. Namun itu tidak menjamin si pelaku sadar. Meneriakkan dengan keras perlawanan atas kekerasan hanya akan membuat kekerasan semakin menguat dan kebencian semakin berurat berakar. Akhirnya yang benar benar mampu memutus mata rantai kekerasan adalah pahamnya seseorang akan kasih sayang dari Sang Maha Pencipta. Raden Ng Ranggawarsita pernah menuliskan dalam salah satu serat, "Sura dira jayaningrat, lebur dening pangastuti" bahwa kekerasan hati dan keangkaramurkaan hanya akan sirna apabila dilebur/dikalahkan oleh sikap lemah lembut kasih sayang yang didapatkan dari manembah pada Yang Maha Kuasa (= pangastuti).
Merunut semua perjalanan Yogyakarta tersebut, maka insiden yang terjadi beberapa saat lalu seharusnya dijadikan cermin bagi setiap individu yang peduli akan hal ini. Seberapakah kita menanamkan kasih sayang untuk orang orang terdekat kita, seberapakah kita memahami lingkungan sekitar kita tinggal, seberapakah kita memiliki kepekaan sosial, sifat toleransi dan cinta kasih. Tak perlulah menunjuk keluar mencari kambing hitam, akan lebih indah bila setiap kita memulai dari diri sendiri, dengan koreksi diri dan membenahi ke dalam diri. Karena apa yang kita perbuat itulah yang akan kita nikmati hasilnya.
Sepenggal cerita dari Yogyakarta, semoga menumbuhkan sepenggal cinta yang memiliki makna luar biasa untuk kehidupan manusia.
Love Yogya and you