Senin, 26 Mei 2014

Melepas Kecewa Menggapai Syukur

"Satu kekecewaan itu ibarat sebutir peluru yang langsung ditembakkan  tepat ke jantungmu, sehingga merontokkan semangat dan menghancurkan seluruh sendi kebahagiaanmu. Dan hidup pun seakan menjadi lumpuh."

Dalam hidup ini, pasti kita pernah dihadapkan pada satu situasi yang sama sekali meleset dari prediksi, atau pada suatu keadaan dimana kita sudah melakukan segala sesuatunya dengan maksimal namun ternyata hasil yang didapatkan tetap tidak seperti yang diharapkan. Atau seperti yang saya alami hari ini, dimana hari ini adalah satu hari kerja yang diapit oleh dua hari libur, pada pagi tadi, saya berangkat dan bekerja sebagaimana biasa, dan baru pada pukul 16.00 wita, saya tersadar bahwa ternyata hari ini adalah cuti bersama perusahaan. Sempat ada perasaan kecewa yang begitu besar, karena bila saya tahu dari beberapa hari yang lalu, saya bisa pulang ke Yogyakarta untuk menengok anak anak saya disana, dan mendapatkan libur yang panjang untuk bisa pulang ke Yogya adalah sesuatu kemewahan bagi saya, dan hari ini berlalu begitu saja. aarrrgghh..Terbersit sesal, agak dalam. Hingga rasanya lunglai, ah,,, harusnya saya sudah ada di disana, memandangi merapi, memandangi alun alun. 

Sembari pulang dari kantor, terus menerus saya mengolah rasa ini dan berusaha melepaskannya, mungkin ini sangat sederhana buat sebagian orang, tapi buatku sangatlah berarti, "waktu adalah milik Tuhan, akan ada saatnya bersama dengan mereka lagi, saat ini berarti ada yang harus diselesaikan disini, " kata mbak Adek yang sangat bijaksana. Ya, memang benar apa yang dikatakan semua teman dan anak-anak saya. 
Dan, diakhir perenungan, dengan penuh keikhlasan saya serahkan semua hasil kerja ini untuk perusahaan tempat saya bekerja, mungkin saja sebelum ini saya memiliki hutang waktu dengannya, dan saya impaskan dengan bekerja di hari libur ini, perasaan lega menyelimuti jiwa saya, dan saya merasakan kehangatan cinta dari pelukan sahabat-sahabat dan anak anak. indah.

Tuhan, terimakasih, dan terimakasih kepada guru yang telah mengajarkan saya untuk menerima hidup apa adanya.

"ketika kita mampu melepas kekecewaan dengan cara mengkoreksi kekurangan pada diri sendiri, maka timbullah perasaan rela dan keikhlasan atas apapun yang terjadi pada diri kita. Selanjutnya kita akan merasakan betapa indahnya pelukan cinta dari para sahabat di sekitar kita. Rasakan kehangatan cinta mereka menyelimuti jiwamu, dan bersyukurlah atas karunia-NYA"

Minggu, 18 Mei 2014

Bernyanyi dengan Bijaksana

Di awali pada suatu pagi, beberapa hari lalu, ketika aku berangkat ke kantor, seperti biasa hanya ditemani oleh suara radio. Melalui penyiar yang selalu memperdengarkan kegembiraannya, lagu demi lagupun berlalu sepanjang perjalanan pagi itu, hingga pada satu lagu yang cukup mengusikku, entah apa judulnya, yang pasti dibawakan oleh grup yang cukup kondang di negeri ini. Sebuah lagu yang mengisahkan tentang kekecewaan seseorang terhadap kekasihnya karena merasa ditinggalkan, hingga menimbulkan kesedihan yang berujung dendam. Walaupun sebenarnya banyak lagu yang isinya meratap, dendam, sumpah serapah, namun yang ini menarik untuk dicermati, mengingat sang pengarang dengan berani membawa bawa istilah karma. Walaupun sebenarnya sih sah sah saja seseorang mengusung istilah karma dalam lagunya, hanya saja, aku merasa ada yang tidak pas dengan pemahaman tentang karma yang di suarakan melalui lagu itu, 


"aku yang terusir, jauh dari kamu, jauh dari kamu
cinta dan harapan dibunuh dan mati
bangkit dan terbunuh lagi (semua karena dirimu)
Aku yang mengemis, mengais cintamu seperti pengemis
aku yang dibuang dari relung hati orang yang kucinta

oh Tuhan ampunilah dosa, dendam aku padanya
menunggu karma, aku menunggu karma

dengar dan ingatlah saat aku bangkit dari kesedihan
engkau kan berlutut & memohon diriku, memohon ampunan dari diriku

oh Tuhan ampunilah aku, niat buruk di doa
aku hanya inginkan dia, merasakan getir cinta

menunggu karma (membalasmu)
aku menunggu karma (membalasmu)
menunggu karma (membalasmu)
aku menunggu karma (membalasmu)

Sepertinya ini kali kedua sebuah grup band mengusung tema tentang dendam dengan mengatas namakan karma. Dulu beberapa tahun silam juga ada sebuah grup Band yang terang terangan memberi judul lagu mereka "Karma", yang isinya adalah kurang lebih sama "jangan menangis sayang, kuingin kau rasakan pahitnya terbuang sia sia, memang pantas kau dapatkan." 

Dari dua lagu tersebut rasanya cukup mewakili, bahwa aturan tentang karma yang diyakini umat Hindu dan Buddha dipahami secara salah oleh orang kebanyakan. Seakan akan aturan tentang karma adalah tentang pembalasan atas sesuatu hal buruk dan dekat sekali dengan dendam kesumat. Saya bukan penganut Hinduism ataupun Buddhism, namun saya berusaha memahami apa yang sebenarnya di definisikan tentang hal tersebut menurut mereka. Bukankah kita harus memahami satu peristilahan berdasar budaya asal istilah tersebut timbul agar tidak terjadi salah paham? 

Yang dimaksudkan dalam lagu diatas oleh sang penulis lagu sepertinya adalah tentang Hukum Karma, yaitu satu hukum yang diyakini oleh umat Hindu dan Buddha sebagai hukum alam yang berlaku universal, sebagaimana hukum gravitasi, dimana hukum ini mengikat semua makhluk di muka bumi ini, baik yang mengetahuinya maupun yang tidak mengetahuinya. Hukum karma ini diyakini sebagai hukum sebab akibat, atau hukum tabur tuai. Siapa berbuat dia yang menuai. Hingga titik ini, pemahaman penulis lagu tidaklah salah, bahwa seseorang yang berbuat jahat maka dia akan mendapat balasannya. Karena memang menurut pemahaman hukum karma dalam Hinduism & Buddhism bahwa siapa yang melakukan dialah yang akan mendapatkan dan itu tidak dapat diwakilkan kepada orang lain, walaupun itu keturunannya sekalipun. 
Pencipta lagu ini menyuarakan hal tersebut, yaitu suara seseorang yang sedang dilanda sakit hati yang amat sangat maka ego-nyapun berbicara lantang, bahwa pasti akan ada balas yang didapatkan oleh orang yang menyakitinya. Seperti yang diulas diatas, hingga titik pembicaraan ini masih bisa dibenarkan, akan tetapi bila dipahami lebih jauh, ternyata ada pemahaman yang belum pas.

Menurut ajaran Buddha yang saya baca, "kehendak untuk berbuat itulah yang dinamakan karma, setelah berkehendak orang akan melakukan perbuatan melalui berpikir, ucapan dan tubuh jasmani". Jadi bila menurut pemahaman aslinya baru berniat lalu berpikirpun itu sudah membentuk karma, bisa karma baik, bisa juga karma buruk. Bila dalam lagu tersebut sang penulis membuatkan alur bahwa seseorang yang tersakiti berharap, bahkan sampai berdo'a agar orang yang menyakitinya mendapatkan kegetiran yang sama, disinilah letak kesalahannya, dengan pemikiran buruk tersebut berarti orang yang tersakiti itu justru membentuk karma buruknya sendiri, dan bila demikian maka menurut hukum karma, dirinya sendirilah yang akan mendapatkan balasan seperti yang dia pikirkan/harapkan agar terjadi pada orang yang menyakitinya. Ironis bukan?

Kembali pada lagu diatas. Menurut Bunda Arsaningsih seorang guru meditasi dengan energi, beliau menyatakan bahwa sebuah lagu adalah sarana mengungkapkan suasana hati, bila sebuah lagu dinyanyikan dengan penuh penjiwaan maka akan mampu menyentuh relung hati kita, dan akan tersimpan dalam rekaman bawah sadar orang yang menyanyikan, syair lagu bisa menjadi semacam affirmasi ke dalam diri. Bila sebuah lagu memuat sesuatu yang salah, tentu saja berarti orang yang menyanyikannya dengan penuh penjiwaan adalah sedang mengaffirmasikan sesuatu yang salah pula ke dalam dirinya. Oleh karena itu sebaiknya memang kita cermat dan selektif memilih lagu agar kita tidak menancapkan pemahaman yang salah ke dalam diri kita. 

Bernyanyilah dengan bijaksana


Just a note :

Bahwa segala tindakan akan dinilai dari niatnya, ketika seseorang berdo'a atau berharap atas nama dendam tentunya tak akan bisa dibenarkan oleh paham atau agama apapun itu.

dari Amirul Mukminin Abu Hafsh, Umar bin Khaththab radhiyallahu 'anhu berkata, aku mendengar Rasulullaah salallahu 'alaihi wassalam bersabda, 
" Sesungguhnya amal-amal itu tergantung dengan niat dan sesungguhnya seseorang itu hanya akan mendapat balasan sebagaimana niatnya. Maka barangsiapa hijrahnya karena Allah & Rasulnya maka hijrahnya kepada Allah dan Rasulnya. Dan barangsiapa hijrahnya diniatkan untuk kepentingan harta dunia yang hendak dicapainya atau karena seseorang wanita yang hendak dinikahinya maka hijrahnya akan dibalas sebagaimana yang ia niatkan."