Jumat, 23 Oktober 2020

Belajar “Bersyukur”, Bukan (hanya) Bilang Saya Bersyukur


 “Bersyukur” adalah sebuah kata yang mudah diucapkan, tapi menciptakan diri dalam kondisi bersyukur itu perlu perjuangan.

Kalau mau jujur, saat kesulitan datang, atau ada menemui suatu masalah, biasanya mudah banget melontarkan keluhan, minimal bilang “aduh”. Kayak pagi ini, pas mau nyiapin sarapan, mendapati saluran cuci piring bermasalah. Sepertinya scum mulai menyumbat saluran, yang memang nampaknya kurang lebar saat membuat dulu. “Duh!”. Mulailah bola bola panas pikiran berloncatan kesana kemari.

“manggil tukang buat benerin saluran, biayanya berapa ya?”

“Wah, ntar dibenerin tempatnya jadi kotor, musti ini musti itu,”

Mungkin kalau bisa dilihatin, diatas kepala keluar bintang-bintang muter-muter, pusing tujuh keliling.

Ambil napas, tenangin diri sambil duduk di sofa. Lalu melihat di HP ada renungan jiwa, eh.. kok jadi malu sendiri ya, disitu dikatakan

“Orang yang serakah tidak bisa mensyukuri hal-hal yang sederhana dalam hidupnya. 

Mereka hanya mengharapkan sesuatu yang besar. Semua yang menjadi keinginannya harus terpenuhi, sekalipun

Tuhan telah memberikan apa yang menjadi kebutuhan mereka.

Belajarlah untuk selalu bersyukur atas nikmat yang telah Tuhan berikan kepada kita, walaupun itu adalah sesuatu yang sederhana.”

Oleh : Bunda Arsaningsih

Wah, tersentil keras, atau terjewer lah saya, tapi juga beruntung tiap pagi ada Daily SOUL Reflection, sarapan pagi buat jiwa.

Karena saya juga sudah belajar metode SOUL METER segera deh mengukur, pagi tadi saat kejadian kemampetan saluran air itu rasa syukur saya 0 point, saya nggak punya rasa syukur sama sekali. Pikiran ruwet cemas, overthinking mulai bersemi, khawatir biaya, pikiran negatif berloncatan ke mana-mana. Oh No,,,

Saat saya mulai menyadari saya salah mikir, segera mengubah mindset, nilai-nilai negatif itu memang mulai berguguran, tapi belum bisa balik nol. Disini peran SOUL METER penting banget. Betapa tidak. Rasanya sih udah, ya sudah lah, okelah, biarin aja dulu. Tapi pas diukur pake SOUL METER, ternyata belum bersih, masih ada sisa sisa salah berpikir yang belum bersih, sehingga syukurnya pun belum bisa maksimal di 10 point (skala 0-10). Kalau sudah gini, jangan berani-berani memperpanjang urusan. Singkirkan semua urusan, waktunya duduk dan ber-SOUL Reflection.

Hening sejenak, josss memang, dengan energi Ilahi, nuur Ilahi dan cinta Ilahi, seperti diguyur air, dibersihkan sisa sisa pikiran negatif yang sulit terbersihkan. Plong.

Lega rasanya. Lalu teringat lagi, masalah kecil tadi. Tiba-tiba punya ide, dan saat ini sudah dapat solusi, dibantu tanaman rambat di kebun, saluran air sudah lancar jaya tanpa perlu panggil tukang. Hehe..

Pantas saja ya di Surah Ar Rahman, Allah sampai mengulang 31 kali, “fabiayyi ala irobbikuma tukadziban” “Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan.” dan di Surat Ibrahim dikatakan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu,” Sungguh, sebenarnya Tuhan Maha Baik, semua dikasih, tapi kita yang suka ruwet sendiri.

Luar biasa, memang benar, saat pagi tadi sedikit “sambat” dengan kondisi yang ada, maka rasanya tak ada solusi. Untungnya tersentil banget dengan Daily SOUL Reflection. Dan bener banget, dengan bersyukur maka kemudahan kemudahan datang pada kita.

Ya Allah, I love YOU

dan, terima kasih Bunda Arsaningsih metode SOUL itu luarrrr biasa

Minggu, 09 Desember 2018

Setiap Orang Membutuhkan Guru Sejatinya

“Setiap pejalan membutuhkan Sang Jalan untuk sampai pada tujuan
Tanpa Sang Jalan, pejalan hanya akan mengantongi peta tanpa paham bagaimana cara ia sampai pada tujuannya”

Orang hidup pada akhirnya akan menemui kematian. Semua berjalan dalam koridor ruang dan waktu hingga batas tubuh ragawi tak lagi mampu menopang tubuh tak berfisik atau jiwanya. Sayangnya gurauan kehidupan terkadang membuat orang lupa, bahwa sejatinya semua adalah pejalan yang tengah berjalan menuju alam selanjutnya. Asyik masyuk dalam gemuruh pesta hidup, dan melupakan bahwa kesunyian Sang Hampa adalah kesejatian.

Untuk menuju kesejatian orang tak bisa sekedar memiliki setumpuk ilmu, ia harus memiliki pengetahuan. Ilmu adalah sejumlah teori dan pemaparan yang mungkin banyak sekali dimiliki seseorang, namun belum tentu semua itu sudah dijalaninya sehingga mengakar dan membentuk kesadarannya. Namun pengetahuan adalah benih dalam batin yang tumbuh karena pengamalan dan pengalaman, atas praktek dari ilmu yang dimiliki sepanjang perjalanan. Pengetahuan adalah perjalanan yang harus ditempuh, bukan sekedar ilmu yang diketahui.

Ibarat orang berjalan, ia harus mau dan mampu melangkahkan kakinya dan menguasai peta tempatnya berpijak serta peta lokasi tujuan.

Banyak orang terjebak hanya mengantongi ilmu hidup, tanpa mampu dan tahu bagaimana mengaplikasikannya dalam hidup hingga membentuk pengetahuan.

Disinilah dibutuhkan peran seorang Guru. Seorang Guru kehidupan adalah dia yang mampu membawa murid-muridnya menjadikan pengetahuan itu meresap kedalam kesadaran, menjadi Sang Jalan sehingga ilmu terbangun menjadi pengetahuan yang membuatnya mampu menjalani kehidupannya hingga tujuan akhir.

Jumat, 06 Januari 2017

SOUL Reflection Untuk Segala Usia

Siang itu tiba-tiba ada chat masuk dari teman di Surabaya. Sudah 4 bulan saya meninggalkan Kota Pahlawan tersebut, untuk kembali ke Kota Budaya, Yogyakarta. "Hallo Mbak, miss you banget," "Hallo, miss you too, bagaimana khabarmu ?" "Melihatmu damai banget semuanya. Kabarku baik banget mbak," Lalu saya kirimkan emoticon love love.  Lalu teman saya kembali mengirim chat, " Oya, yang suka baca buku Bunda Arsa adalah Dewi," Ya, saya ingat dulu saya pernah memberikan Buku SOUL Reflection karya Bunda Arsaningsih untuknya, saat itu teman saya sedang sedih, saya tidak bertanya dan tidak tahu banyak, hanya saja saya melihat dia habis menangis setelah bercerita pada atasannya. Saya hanya mendekati, lalu memberikan buku SOUL Reflection yang kebetulan masih punya stok lebih waktu itu. Sedangkan Dewi adalah anak teman saya tersebut, tapi seingat saya Dewi masih kecil banget.

Lalu teman saya melanjutkan ceritanya, "Anak seusia Dewi bisa bilang, "Ma... buku ini bagus
banget." Makasih Mbak Rina, " "Dewi, anakku masih kelas 2 (dua) SD" "Hehe, keren kan mbak, buku itu selalu dibaca, nanti dirapikan lagi. Dan aku lihat banyak perubahan si Dewi mbak," "Gak bisa berkata-kata, terimakasih mbak Rina."

Saya tertegun membaca chat teman saya, jujur, saya bahkan sudah lupa kalau saya pernah berbagi buku padanya, jadi saya juga tidak pernah menanyakan bagaimana keadaan teman saya, apalagi menanyakan apakah bukunya masih dia baca. Namun, sekali lagi buku ajaib itu menunjukkan keajaibannya pada kita, buku yang lumayan tebal, mungkin orang dewasapun kalau melihat bukunya merasa, duh kok tebal.. sudah takut duluan untuk membaca. Di tengah gempuran budaya gadget yang merajalela, dimana anak-anak lebih akrab memegang handphone canggih atau tablet daripada sebuah buku. Namun Buku SOUL Reflection mampu mempesona seorang anak kelas 2 SD. Dalam hati saya berkata, ah, ya, memang buku ini adalah buku yang bisa dipahami siapapun dan memiliki daya ubah yang tinggi bagi yang membacanya, tak peduli itu orang tua maupun anak-anak.
Justru kepolosan anak-anak yang masih lugu akan mampu mencerna dengan apa adanya pengetahuan dalam Buku SOUL Reflection tersebut. 

Penasaran, sayapun bertanya pada teman saya, " Trus, yang berubah dari Dewi setelah membaca buku SOUL Reflection dalam hal apa ?" Teman saya menjawab, " Dia lebih mengalah sama adiknya, lebih sayang sama adiknya dan tidak iri sama adiknya. Dia lebih menepati janji terutama pada teman-temannya."  "Kamu ibu yang beruntung." Kata saya kepada teman saya.


Cerita teman saya memberikan sebuah pelajaran, bahwa ternyata sebuah Buku SOUL Reflection yang awalnya saya kira hanya bacaan bagi orang dewasa, ternyata juga bisa dipahami oleh anak-anak bahkan yang baru berumur 8 tahun seperti Dewi.

Dan kita tak perlu menyuruh-nyuruh anak kita membacanya, cukup sediakan paling tidak satu buku itu di rumah kita masing-masing sebagai buku bacaan bersama keluarga. 

Terimakasih Dewi kecil sudah memberikan pelajaran yang sangat berharga bagi saya, sehat, cerdas ceria dan selalu beruntung serta berhasil ya nak, tercapai cita-citamu. 
Terimakasih Mbak Lilik, mama Dewi yang sudah berbagi cerita pada saya. 
Terimakasih Bunda Arsaningsih, sudah menuliskan Buku SOUL Reflection yang menginspirasi segala usia

Yogyakarta, Jan 7 2017 
With LOVE

Rabu, 22 Juni 2016

Cermin Berbayang Rasa

Pelajaran hari ini datang saat saya baru melangkah masuk rumah dan meletakkan tas kerja saya yang lumayan berat,  kira-kira pukul 20.50 WIB. Belum sampai meraih tombol lampu, tiba-tiba ada suara di depan rumah, “Kok petengan (=gelap-gelapan)  to Bu?”, Sayapun menoleh, oh rupanya bapak tetangga sebelah. Mungkin karena pas juga badan saya udah lelah banget, saya sempet illfill, dan membatin, “ini tetangga kok nyebelin banget, gak tahu apa kita baru pulang kerja jam segini, baru buka pintu, taruh tas, nyalain lampu aja belum, eh… malah dibilangin kok gelap gelapan, mbok ya mikir.”  Lalu saya keluar, rumah masih berantakan banget, tas-tas bergeletakan, duh. “Ada apa ya pak?” “Bu, maaf, mau ngganggu, besok kami mau betulin cor diatas rumah kami lagi, mau pinjem kunci rumahnya ibu.” (Jadi rumah sebelah itu sudah direnovasi total, dibuntuin total, nah, kalo genteng bocor, cornya bocor, ga bisa naik kecuali lewat rumah yang saya tempati. Dan ini sudah kali keempat atau kelima mereka minjem kunci dan betulin genteng, manjat lewat halaman belakang rumah saya. Dan mbenerinnya nggak pernah sukses L ). “O, ya pak, nggak papa, besok saya kerja kunci saya tinggal, masih bocor to Pak?” “Iya bu, nambah parah bocornya, pusing saya.” Lalu dia cerita penderitaannya karena bocor itu, sambil merokok (OMG tambah sebel). “ Baik pak, besok dipakai aja, tapi tolong pintu belakang jangan sampai terbuka ya pak, habis keluar ditutup lagi, soalnya banyak binatang di belakang (deket sawah) , biar nggak masuk ke rumah.”  Mungkin akhirnya dia merasa aku udah nggak nyaman, akhirnya pamit.

Huuufffth… tambah lelah rasanya, saya langsung duduk, sambil menarik nafas. Jadi malas mau ngapa-ngapain deh.  Sesaat saya membuka pesan di  handphone, dan pas seorang teman menshare sebuah pelajaran, “Semakin rendah hati seseorang maka ilmu pengetahuan akan turun ke dalam diri seperti samudera.  Sebagai samudera kita harus ikhlas dengan apapun yang datang,  walaupun itu sampah.” 

Saya tercenung dan merasa dicubit  rasa malu terhadap diri saya sendiri yang sempat tak dapat mengendalikan emosi, meskipun hanya, membatin, merasa sebel saja, tapi rasanya itu melipatgandakan kelelahan saya yang sudah bertumpuk sejak dari pekerjaan tadi. Lalu sejenak saya menenangkan diri, hening, dan saya teringat sebuah pelajaran, ketika ada seseorang datang mengatakan sesuatu dan tiba-tiba kita merasa jengkel dengan orang tersebut, maka seharusnya yang kita lihat bukan kenapa dia nyebelin atau bikin jengkel, tapi kenapa kita jengkel? Orang tersebut secara tidak langsung sedang menunjukkan apa yang masih tersimpan dalam diri kita,  apakah hati kita ini sudah benar-benar bersih dan tulus? Apakah kita sudah bisa ikhlas menerima siapapun, apalagi ini datang minta tolong. Ya, orang lain menjadi cermin bagi diri kita, untuk mengetahui apa yang masih tersimpan di dalam diri. Kalau kita masih bereaksi negatif, maka berarti masih memiliki hal yang negatif di dalam diri. Kalau kita tidak punya hal negatif dalam diri, maka orang bicara apapun harusnya saya tidak perlu merasa jengkel.

Lalu selintas teringat sebuah kalimat dalam CD Soul Reflection yang mengatakan bahwa, “Seringkali kita dapat melakukan penilaian pada orang lain, dan tak dapat mengukur kedalaman hati kita. Seringkali kitapun melakukan proses-proses pengingkaran, kita tidak jujur pada diri kita sendiri. Jujur pada orang lain lebih mudah, tapi jujur pada diri sendiri membutuh waktu untuk merenungkannya.” Saya mengakui, saya masih punya ego, tidak ikhlas, seharusnya saya bersyukur dan berterimakasih pada Bapak tetangga yang sudah menunjukkan apa yang ada dalam diri saya.

Akhirnya malam ini, saya belajar lagi untuk kesekian kalinya, bahwa kita harus aware dengan “cermin” yang datang dan melihat kepadanya untuk melihat kedalam diri kita, dan jujur atas rasa apa yang muncul. Kecepatan memahami, dan segera memurnikan diri agar rasa negatif tidak berlarut-larut ini akan membuat diri kita selalu damai.


#soulreflection #ngesoulforpeace

Sabtu, 12 Maret 2016

Buku dan Pelajaran Hidup

SOUL Reflection Book by Bunda Arsaningsih
Bukan jaminan seorang yang membaca buku tentang kesabaran, lalu dirinya menjadi sabar, dan bahkan bukan jaminan orang yang menuliskan tentang kesabaran, dirinya benar-benar orang yang sabar. Beberapa orang, termasuk saya dulu, mungkin mengira, untuk memahami kehidupan ini adalah dengan cara banyak membaca dan mengikuti berbagai seminar. Namun, seiring berjalannya waktu, usia bertambah, permasalahan kehidupan dan peristiwa yang dihadapi pun beragam, akhirnya pemahaman saya berkembang.

Dalam buku SOUL Reflection hal ini dikupas lebih detail, pada Bab : Proses Belajar, yang pada salah satu alinea " Maka ketika kita belajar, melalui proses membaca, jangan hanya membaca saja. Renungkanlah setiap kata demi kata, arahkan ke dalam diri kita untuk mengetahui keberadaan diri, inilah cara kita untuk menunjukkan kekurangan diri." Penulis buku tersebut, Bunda Arsaningsih pernah memberikan wejangan kepada saya, saat saya akhirnya bisa sedikit mengatasi diri saya sendiri ketika menghadapi sebuah permasalahan, beliau mengatakan, "berteori itu bikin pinter, tapi mengalami membuat orang menjadi bijaksana, inilah pelajaran kehidupan. Bersyukurlah kita diarahkan Tuhan untuk menjadi bijaksana"

Jadi, pelajaran hidup, bukan semata-mata dengan mendengar atau membaca, lalu diri kita menjadi paham. Itu baru sebagian tahapan. Karena bila kita membaca saja, lalu kita merasa paham, bisa jadi setelah beberapa saat kemudian kita sudah lupa.  
Pelajaran hidup yang paripurna adalah, setelah kita mendengar atau membaca, lalu dibawa ke dalam diri, dirasakan, dilakukan. Proses merasakan adalah proses yang benar-benar membutuhkan awareness dan kesabaran. 

Memasukkan kata ke dalam tulisan itu mudah, namun memasukkan tulisan ke dalam hati itu yang tidak mudah (Profesor Ali Azis, MAg)

Sumber : SOUL Reflection Book & Radio El Victor 93,3 FM

Minggu, 20 Desember 2015

Menyikapi Kesedihan & Kekecewaan

Dalam hidup kita, pasti pernah suatu kali, kita merasa sudah melakukan hal terbaik yang bisa kita lakukan entah itu untuk pasangan, untuk atasan, untuk tetangga, ataupun untuk teman. Namun ternyata, justru kita mendapatkan sesuatu yang jauh dari harapan.
Dengan pasangan, kita sudah memberikan waktu dan perhatian sepenuhnya, namun pasangan kita tega mengkhianati kesetiaannya. Dengan atasan, rasanya semua pekerjaan kita tak ada benarnya dimatanya. Dengan tetangga, kita sudah selalu meminjamkan apa yang dia butuhkan, tapi dia justru menjelek jelekkan kita ke tetangga yang lain. Dengan teman, kita sudah selalu menemaninya di saat saat sulit, namun saat dia sudah sukses ternyata dia menjadi sombong dan tak mengenali kita lagi.  

Sebagai seseorang yang merasa dikhianati, difitnah, diremehkan, ditinggalkan, tentu wajar bila kemudian merasa sedih, kecewa dan sakit hati, bahkan dalam kadar tertentu sampai dendam. Hal tersebut dianggap wajar, tapi apakah itu benar ?

Beberapa orang melakukan pembelaan diri, bahwa wajar bagi seseorang yang disakiti akan membalas, wajar bagi seorang yang dikhianati minimal akan membalas dengan menyumpahi, wajar bila tetangga jahat maka kita tak sudi kenal lagi. Wajar. Tapi apakah itu benar ?

Ego manusia, yaitu konsep individu tentang dirinya sendiri, cenderung menginginkan hal-hal baik yang didapatkan untuk dirinya sendiri, sehingga hal paling mudah untuk membela diri adalah dengan menyalahkan orang lain atau mengkambinghitamkan orang lain sebagai sumber penderitaannya. Karena merasa sebagai “korban” maka dia boleh melakukan apa saja untuk membuat impas keadaan menurut perhitungannya. Hal yang paling ringan yang biasa dilakukan adalah dengan mendoakan hal buruk agar menimpa orang yang dianggap sebagai penyebab  penderitaannya, dan yang paling berat adalah melontarkan sumpah atau bahkan kutukan kepada orang yang dianggap membuatnya menderita tersebut.
Coba bayangkan bila  balasan atas penderitaan berdasar pada perhitungan manusia tersebut yang benar benar digunakan untuk menjalani kehidupan ini, maka kehidupan saling serang dan saling balas dendam seperti yang sering terjadi adalah konsekuensinya. Padahal kecenderungannya balasan yang diberikan manusia itu lebih berat dari penderitaan yang dirasakan. Lantas bagaimanakah kedamaian akan mewujud bila demikian ?

Allah dengan sifat Maha Kasih-Nya memang masih memberi ruang bagi kita yang belum bisa sepenuhnya berserah pada sifat Maha Adil-Nya. DIA begitu memahami manusia, sehingga mengatakan dalam surat An Nahl (16) : 126, “ Dan jika kamu membalas, maka balaslah dengan (balasan) yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang yang sabar.”  Pertanyaan selanjutnya adalah, yang diperbolehkan adalah membalas dengan balasan yang sama, apakah kita benar-benar bisa menghitung dengan tepat bahwa balasan kita sama? Apakah ego kita tidak ikut berbicara dan meminta lebih? Nau’udzubillahi min dzalik. Keburukan hanya akan melahirkan keburukan, tak kan ada akhirnya dan hanya kerusakan yang ditimbulkan.

Lantas, bagaimanakah langkah terbaik yang harus dilakukan bila kita mengalami hal-hal yang menyakitkan, menyedihkan atau mengecewakan seperti diatas ?

1.  Lakukan introspeksi.
Introspeksi adalah langkah terberani yang bisa kita lakukan, karena dengan berani berintrospeksi berarti kita berani mengoreksi diri kita sendiri, berani mengakui ketidaksempurnaan kita sebagai manusia. Karena bagaimanapun juga hal buruk itu terjadi pasti ada sebabnya. Entah secara langsung kita yang memicunya atau bisa juga akibat tak langsung dari hal lain (misalnya, fitnah dll). Ketika kita menyadari bahwa diri kita tak sempurna  maka disitulah kita menuju proses penyempurnaan diri, karena dengan kejadian tersebut kita belajar untuk menjadi lebih baik.

2.  Minta maaf dan memaafkan.
Rasa sedih, kecewa dan kesedihan apalagi dendam adalah beban yang membuat kita lelah, maka alangkah bijaksananya bila kita mau melepaskan beban tersebut. Beban perasaan hanya bisa dilepaskan melalui proses minta maaf dan memaafkan yang benar.

3.  Mengubah cara berpikir.
Memikirkan hal-hal buruk, apalagi membawanya dalam do’a kita akan membawa konsekuensi kembalinya hal buruk tersebut kembali pada kita. Karena pikiran buruk dan doa yang buruk akan menggetarkan frekuensi negative dalam diri kita, dan ini akan menggetarkan frekuensi negative yang sama di alam ini dan justru berbalik pada kita lebih kuat lagi. Sehingga apabila kita sudah menyelesaikan dengan cara meminta maaf dan memaafkan, jangan biarkan pikiran negative berkembang. Segera ubah pikiran kita, pahami bahwa semua orang berproses untuk bisa menjadi lebih baik.  

Diceritakan pada saat turun Surat Al A’raf (7) :  199 “Jadilah pema’af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh”  nabi Muhammad bertanya kepada Malaikat Jibril, “Apa maksud semua ini wahai Jibril?” dan Jibril pun menjawab, “ Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah SWT memerintahkanmu untuk memaafkan orang yang mendzalimimu, memberi kepada orang yang pelit kepadamu, dan menyambung silaturahim kepada orang yang memutuskannya denganmu.”

Pada akhirnya menjadikan kehidupan kita damai hanya bisa didapatkan bila kita aktif mengupayakan kedamaian tersebut terjadi.  

“Ketika sakit hati dan kekecewaan engkau rasakan di hati, jangan salahkan orang lain, karena kamu sendiri yang memperbolehkan diri kamu sakit hati dan kecewa. 
Cepat mengubah suasana hati ini dengan memaafkan dan melupakannya, penuhi kembali hati ini dengan kedamaian”
~Bunda Arsaningsih~



Sumber :

Al Qur’an, Suara Agung Cetakan V

SOUL Reflection, BIP Cetakan II


Salahuddin El Ayyubi MA, m.republica.co.id/berita/-islam/hikmah/11/08/24/lqejr9-membalas-keburukan-dengan-kebaikan

Rabu, 29 Juli 2015

(Sudah) Memaafkan Namun ....

Dalam pergaulan sehari-hari ketika seseorang bertemu dengan orang lain dalam satu lingkup kehidupan, bisa rumahtangga, bertetangga, lingkup pekerjaan, sekolah, kuliah, dan lain sebagainya, tidaklah selamanya memuaskan. Aneka pergesekan pemikiran, pergesekan rasa, salah persepsi, salah paham, perseteruan dan sebagainya akan berdampak pada ditimbulkannya rasa sedih, kecewa, dongkol, marah hingga dendam. Padahal semua rasa yang negatif tersebut mengakibatkan diri kita tak nyaman, dan secara naluri kitapun akan mencari cara untuk mengobati rasa tidak nyaman tersebut.

Untuk kapasitas perseteruan ringan, mungkin sepatah kata maaf akan mampu meluluhkan semua rasa tak nyaman tersebut. Namun dalam taraf perseteruan yang kita anggap lebih berat, yaitu apabila kita menganggap yang berseteru dengan kita tersebut "sudah keterlaluan", atau menginjak-injak "harga diri" kita, maka terkadang maaf itu hanya formalitas di bibir saja, namun dalam hati bara api rasa tidak terima itu masih tersimpan. Bahkan terkadang terucap, "saya sudah memaafkan dia, tapi rasa sakitnya itu tak akan bisa saya lupakan". Atau bisa juga begini, "ya, saya minta memang minta maaf, karena saya nggak mau ribut". Dua konteks pemaafan tersebut, meskipun dua orang dalam posisi yang berbeda, satu yg memaafkan, satu lagi yang meminta maaf, sebenarnya keduanya sama-sama masih belum mau melepaskan emosi negatif dalam hatinya. Mereka tanpa sadar, memerintahkan diri mereka sendiri untuk tidak melepaskan rasa sakit dalam hati mereka tersebut. Mereka mengikat kuat-kuat rasa sakit hati itu dengan jiwa mereka sendiri. Dan saat ada pemicu yang membuat rasa itu muncul lagi, jari merekapun sibuk menunjuk orang lain yang dianggap menyebabkan dia sakit hati hingga tak bisa melupakan rasa sakitnya.
Apakah hal tersebut bisa disebut sebagai sudah memaafkan/meminta maaf?

Pertanyaannya adalah, mengapa seseorang cenderung untuk mempertahankan rasa yang negatif, padahal itu menyakitkan?

Setiap orang sebenarnya selalu memiliki pilihan dalam hidupnya, namun tidak semua orang mampu menjalani pilihannya. Contohnya, orang yang sudah (berusaha) memaafkan, namun belum bisa melupakan rasa sakitnya. Dia sudah memilih untuk memaafkan, sekuat tenaga dia berusaha bisa melupakan, namun ternyata, tetap saja dia belum mampu sepenuhnya memaafkan (menghilangkan rasa sakitnya). Hal ini apabila dikaji dari pemahaman energi dalam SOUL Reflection, maka ternyata proses meminta maaf dan memaafkan ini adalah proses energi, jadi bukan sekedar proses kata-kata. Untuk mampu memaafkan hingga benar-benar hilang rasa sakitnya (ingat kejadiannya, tapi sudah tidak terasa sakit hatinya), dibutuhkan sejumlah energi yang cukup, terutama energi cinta dan kekuatan. Energi inilah yang akan bekerja dalam diri seseorang hingga dia mampu melepaskan semua emosi, pikiran dan perasaan yang negatif dalam dirinya sehingga dirinya menjadi damai. Namun memang untuk mampu memiliki cinta kasih yang stabil dibutuhkan teknik, latihan dan kesadaran untuk terus menerus menjaganya agar tetap ada dalam diri kita.

Terimakasih kepada Bunda Arsaningsih yang telah mengajarkan teknik tersebut melalui SOUL Reflection, sehingga menjadi jiwa yang benar-benar damai itu bukanlah hanya wacana saja.