Dalam hidup kita, pasti pernah
suatu kali, kita merasa sudah melakukan hal terbaik yang bisa kita lakukan entah
itu untuk pasangan, untuk atasan, untuk tetangga, ataupun untuk teman. Namun
ternyata, justru kita mendapatkan sesuatu yang jauh dari harapan.
Dengan pasangan, kita sudah
memberikan waktu dan perhatian sepenuhnya, namun pasangan kita tega
mengkhianati kesetiaannya. Dengan atasan, rasanya semua pekerjaan kita tak ada
benarnya dimatanya. Dengan tetangga, kita sudah selalu meminjamkan apa yang dia
butuhkan, tapi dia justru menjelek jelekkan kita ke tetangga yang lain. Dengan
teman, kita sudah selalu menemaninya di saat saat sulit, namun saat dia sudah
sukses ternyata dia menjadi sombong dan tak mengenali kita lagi.
Sebagai seseorang yang merasa
dikhianati, difitnah, diremehkan, ditinggalkan, tentu wajar bila kemudian
merasa sedih, kecewa dan sakit hati, bahkan dalam kadar tertentu sampai dendam.
Hal tersebut dianggap wajar, tapi apakah itu benar ?
Beberapa orang melakukan
pembelaan diri, bahwa wajar bagi seseorang yang disakiti akan membalas, wajar
bagi seorang yang dikhianati minimal akan membalas dengan menyumpahi, wajar
bila tetangga jahat maka kita tak sudi kenal lagi. Wajar. Tapi apakah itu benar
?
Ego manusia, yaitu konsep
individu tentang dirinya sendiri, cenderung menginginkan hal-hal baik yang didapatkan
untuk dirinya sendiri, sehingga hal paling mudah untuk membela diri adalah
dengan menyalahkan orang lain atau mengkambinghitamkan orang lain sebagai
sumber penderitaannya. Karena merasa sebagai “korban” maka dia boleh melakukan
apa saja untuk membuat impas keadaan menurut perhitungannya. Hal yang paling
ringan yang biasa dilakukan adalah dengan mendoakan hal buruk agar menimpa orang
yang dianggap sebagai penyebab penderitaannya, dan yang paling berat adalah
melontarkan sumpah atau bahkan kutukan kepada orang yang dianggap membuatnya
menderita tersebut.
Coba bayangkan bila balasan atas penderitaan berdasar pada perhitungan
manusia tersebut yang benar benar digunakan untuk menjalani kehidupan ini, maka
kehidupan saling serang dan saling balas dendam seperti yang sering terjadi
adalah konsekuensinya. Padahal kecenderungannya balasan yang diberikan manusia
itu lebih berat dari penderitaan yang dirasakan. Lantas bagaimanakah kedamaian
akan mewujud bila demikian ?
Allah dengan sifat Maha Kasih-Nya
memang masih memberi ruang bagi kita yang belum bisa sepenuhnya berserah pada
sifat Maha Adil-Nya. DIA begitu memahami manusia, sehingga mengatakan dalam
surat An Nahl (16) : 126, “ Dan jika kamu membalas, maka balaslah dengan
(balasan) yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Tetapi jika kamu
bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang yang sabar.” Pertanyaan selanjutnya adalah, yang
diperbolehkan adalah membalas dengan balasan yang sama, apakah kita benar-benar
bisa menghitung dengan tepat bahwa balasan kita sama? Apakah ego kita tidak
ikut berbicara dan meminta lebih? Nau’udzubillahi min dzalik. Keburukan hanya
akan melahirkan keburukan, tak kan ada akhirnya dan hanya kerusakan yang
ditimbulkan.
Lantas, bagaimanakah langkah
terbaik yang harus dilakukan bila kita mengalami hal-hal yang menyakitkan,
menyedihkan atau mengecewakan seperti diatas ?
1. Lakukan introspeksi.
Introspeksi adalah langkah
terberani yang bisa kita lakukan, karena dengan berani berintrospeksi berarti
kita berani mengoreksi diri kita sendiri, berani mengakui ketidaksempurnaan
kita sebagai manusia. Karena bagaimanapun juga hal buruk itu terjadi pasti ada
sebabnya. Entah secara langsung kita yang memicunya atau bisa juga akibat tak
langsung dari hal lain (misalnya, fitnah dll). Ketika kita menyadari bahwa diri
kita tak sempurna maka disitulah kita
menuju proses penyempurnaan diri, karena dengan kejadian tersebut kita belajar
untuk menjadi lebih baik.
2. Minta maaf dan memaafkan.
Rasa sedih, kecewa dan kesedihan
apalagi dendam adalah beban yang membuat kita lelah, maka alangkah bijaksananya
bila kita mau melepaskan beban tersebut. Beban perasaan hanya bisa dilepaskan
melalui proses minta maaf dan memaafkan yang benar.
3. Mengubah cara berpikir.
Memikirkan hal-hal buruk, apalagi
membawanya dalam do’a kita akan membawa konsekuensi kembalinya hal buruk
tersebut kembali pada kita. Karena pikiran buruk dan doa yang buruk akan
menggetarkan frekuensi negative dalam diri kita, dan ini akan menggetarkan
frekuensi negative yang sama di alam ini dan justru berbalik pada kita lebih
kuat lagi. Sehingga apabila kita sudah menyelesaikan dengan cara meminta maaf
dan memaafkan, jangan biarkan pikiran negative berkembang. Segera ubah pikiran
kita, pahami bahwa semua orang berproses untuk bisa menjadi lebih baik.
Diceritakan pada saat turun Surat
Al A’raf (7) : 199 “Jadilah pema’af dan
suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta jangan pedulikan orang-orang yang
bodoh” nabi Muhammad bertanya kepada
Malaikat Jibril, “Apa maksud semua ini wahai Jibril?” dan Jibril pun menjawab, “
Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah SWT memerintahkanmu untuk memaafkan orang
yang mendzalimimu, memberi kepada orang yang pelit kepadamu, dan menyambung
silaturahim kepada orang yang memutuskannya denganmu.”
Pada akhirnya menjadikan
kehidupan kita damai hanya bisa didapatkan bila kita aktif mengupayakan
kedamaian tersebut terjadi.
“Ketika sakit hati
dan kekecewaan engkau rasakan di hati, jangan salahkan orang lain, karena kamu
sendiri yang memperbolehkan diri kamu sakit hati dan kecewa.
Cepat mengubah
suasana hati ini dengan memaafkan dan melupakannya, penuhi kembali hati ini
dengan kedamaian”
~Bunda Arsaningsih~
Sumber :
Al Qur’an, Suara Agung Cetakan V
SOUL Reflection, BIP Cetakan II
Salahuddin El Ayyubi MA,
m.republica.co.id/berita/-islam/hikmah/11/08/24/lqejr9-membalas-keburukan-dengan-kebaikan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar