Minggu, 20 Desember 2015

Menyikapi Kesedihan & Kekecewaan

Dalam hidup kita, pasti pernah suatu kali, kita merasa sudah melakukan hal terbaik yang bisa kita lakukan entah itu untuk pasangan, untuk atasan, untuk tetangga, ataupun untuk teman. Namun ternyata, justru kita mendapatkan sesuatu yang jauh dari harapan.
Dengan pasangan, kita sudah memberikan waktu dan perhatian sepenuhnya, namun pasangan kita tega mengkhianati kesetiaannya. Dengan atasan, rasanya semua pekerjaan kita tak ada benarnya dimatanya. Dengan tetangga, kita sudah selalu meminjamkan apa yang dia butuhkan, tapi dia justru menjelek jelekkan kita ke tetangga yang lain. Dengan teman, kita sudah selalu menemaninya di saat saat sulit, namun saat dia sudah sukses ternyata dia menjadi sombong dan tak mengenali kita lagi.  

Sebagai seseorang yang merasa dikhianati, difitnah, diremehkan, ditinggalkan, tentu wajar bila kemudian merasa sedih, kecewa dan sakit hati, bahkan dalam kadar tertentu sampai dendam. Hal tersebut dianggap wajar, tapi apakah itu benar ?

Beberapa orang melakukan pembelaan diri, bahwa wajar bagi seseorang yang disakiti akan membalas, wajar bagi seorang yang dikhianati minimal akan membalas dengan menyumpahi, wajar bila tetangga jahat maka kita tak sudi kenal lagi. Wajar. Tapi apakah itu benar ?

Ego manusia, yaitu konsep individu tentang dirinya sendiri, cenderung menginginkan hal-hal baik yang didapatkan untuk dirinya sendiri, sehingga hal paling mudah untuk membela diri adalah dengan menyalahkan orang lain atau mengkambinghitamkan orang lain sebagai sumber penderitaannya. Karena merasa sebagai “korban” maka dia boleh melakukan apa saja untuk membuat impas keadaan menurut perhitungannya. Hal yang paling ringan yang biasa dilakukan adalah dengan mendoakan hal buruk agar menimpa orang yang dianggap sebagai penyebab  penderitaannya, dan yang paling berat adalah melontarkan sumpah atau bahkan kutukan kepada orang yang dianggap membuatnya menderita tersebut.
Coba bayangkan bila  balasan atas penderitaan berdasar pada perhitungan manusia tersebut yang benar benar digunakan untuk menjalani kehidupan ini, maka kehidupan saling serang dan saling balas dendam seperti yang sering terjadi adalah konsekuensinya. Padahal kecenderungannya balasan yang diberikan manusia itu lebih berat dari penderitaan yang dirasakan. Lantas bagaimanakah kedamaian akan mewujud bila demikian ?

Allah dengan sifat Maha Kasih-Nya memang masih memberi ruang bagi kita yang belum bisa sepenuhnya berserah pada sifat Maha Adil-Nya. DIA begitu memahami manusia, sehingga mengatakan dalam surat An Nahl (16) : 126, “ Dan jika kamu membalas, maka balaslah dengan (balasan) yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang yang sabar.”  Pertanyaan selanjutnya adalah, yang diperbolehkan adalah membalas dengan balasan yang sama, apakah kita benar-benar bisa menghitung dengan tepat bahwa balasan kita sama? Apakah ego kita tidak ikut berbicara dan meminta lebih? Nau’udzubillahi min dzalik. Keburukan hanya akan melahirkan keburukan, tak kan ada akhirnya dan hanya kerusakan yang ditimbulkan.

Lantas, bagaimanakah langkah terbaik yang harus dilakukan bila kita mengalami hal-hal yang menyakitkan, menyedihkan atau mengecewakan seperti diatas ?

1.  Lakukan introspeksi.
Introspeksi adalah langkah terberani yang bisa kita lakukan, karena dengan berani berintrospeksi berarti kita berani mengoreksi diri kita sendiri, berani mengakui ketidaksempurnaan kita sebagai manusia. Karena bagaimanapun juga hal buruk itu terjadi pasti ada sebabnya. Entah secara langsung kita yang memicunya atau bisa juga akibat tak langsung dari hal lain (misalnya, fitnah dll). Ketika kita menyadari bahwa diri kita tak sempurna  maka disitulah kita menuju proses penyempurnaan diri, karena dengan kejadian tersebut kita belajar untuk menjadi lebih baik.

2.  Minta maaf dan memaafkan.
Rasa sedih, kecewa dan kesedihan apalagi dendam adalah beban yang membuat kita lelah, maka alangkah bijaksananya bila kita mau melepaskan beban tersebut. Beban perasaan hanya bisa dilepaskan melalui proses minta maaf dan memaafkan yang benar.

3.  Mengubah cara berpikir.
Memikirkan hal-hal buruk, apalagi membawanya dalam do’a kita akan membawa konsekuensi kembalinya hal buruk tersebut kembali pada kita. Karena pikiran buruk dan doa yang buruk akan menggetarkan frekuensi negative dalam diri kita, dan ini akan menggetarkan frekuensi negative yang sama di alam ini dan justru berbalik pada kita lebih kuat lagi. Sehingga apabila kita sudah menyelesaikan dengan cara meminta maaf dan memaafkan, jangan biarkan pikiran negative berkembang. Segera ubah pikiran kita, pahami bahwa semua orang berproses untuk bisa menjadi lebih baik.  

Diceritakan pada saat turun Surat Al A’raf (7) :  199 “Jadilah pema’af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh”  nabi Muhammad bertanya kepada Malaikat Jibril, “Apa maksud semua ini wahai Jibril?” dan Jibril pun menjawab, “ Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah SWT memerintahkanmu untuk memaafkan orang yang mendzalimimu, memberi kepada orang yang pelit kepadamu, dan menyambung silaturahim kepada orang yang memutuskannya denganmu.”

Pada akhirnya menjadikan kehidupan kita damai hanya bisa didapatkan bila kita aktif mengupayakan kedamaian tersebut terjadi.  

“Ketika sakit hati dan kekecewaan engkau rasakan di hati, jangan salahkan orang lain, karena kamu sendiri yang memperbolehkan diri kamu sakit hati dan kecewa. 
Cepat mengubah suasana hati ini dengan memaafkan dan melupakannya, penuhi kembali hati ini dengan kedamaian”
~Bunda Arsaningsih~



Sumber :

Al Qur’an, Suara Agung Cetakan V

SOUL Reflection, BIP Cetakan II


Salahuddin El Ayyubi MA, m.republica.co.id/berita/-islam/hikmah/11/08/24/lqejr9-membalas-keburukan-dengan-kebaikan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar