Pelajaran hari ini datang saat
saya baru melangkah masuk rumah dan meletakkan tas kerja saya yang lumayan
berat, kira-kira pukul 20.50 WIB. Belum
sampai meraih tombol lampu, tiba-tiba ada suara di depan rumah, “Kok petengan
(=gelap-gelapan) to Bu?”, Sayapun
menoleh, oh rupanya bapak tetangga sebelah. Mungkin karena pas juga badan saya
udah lelah banget, saya sempet illfill, dan membatin, “ini tetangga kok
nyebelin banget, gak tahu apa kita baru pulang kerja jam segini, baru buka
pintu, taruh tas, nyalain lampu aja belum, eh… malah dibilangin kok gelap
gelapan, mbok ya mikir.” Lalu saya
keluar, rumah masih berantakan banget, tas-tas bergeletakan, duh. “Ada apa ya
pak?” “Bu, maaf, mau ngganggu, besok kami mau betulin cor diatas rumah kami
lagi, mau pinjem kunci rumahnya ibu.” (Jadi rumah sebelah itu sudah direnovasi total,
dibuntuin total, nah, kalo genteng bocor, cornya bocor, ga bisa naik kecuali
lewat rumah yang saya tempati. Dan ini sudah kali keempat atau kelima mereka
minjem kunci dan betulin genteng, manjat lewat halaman belakang rumah saya. Dan
mbenerinnya nggak pernah sukses L
). “O, ya pak, nggak papa, besok saya kerja kunci saya tinggal, masih bocor to
Pak?” “Iya bu, nambah parah bocornya, pusing saya.” Lalu dia cerita
penderitaannya karena bocor itu, sambil merokok (OMG tambah sebel). “ Baik pak,
besok dipakai aja, tapi tolong pintu belakang jangan sampai terbuka ya pak,
habis keluar ditutup lagi, soalnya banyak binatang di belakang (deket sawah) ,
biar nggak masuk ke rumah.” Mungkin
akhirnya dia merasa aku udah nggak nyaman, akhirnya pamit.
Huuufffth… tambah lelah rasanya,
saya langsung duduk, sambil menarik nafas. Jadi malas mau ngapa-ngapain
deh. Sesaat saya membuka pesan di handphone, dan pas seorang teman menshare
sebuah pelajaran, “Semakin rendah hati seseorang maka ilmu pengetahuan akan turun
ke dalam diri seperti samudera. Sebagai
samudera kita harus ikhlas dengan apapun yang datang, walaupun itu sampah.”
Saya tercenung dan merasa
dicubit rasa malu terhadap diri saya
sendiri yang sempat tak dapat mengendalikan emosi, meskipun hanya, membatin,
merasa sebel saja, tapi rasanya itu melipatgandakan kelelahan saya yang sudah
bertumpuk sejak dari pekerjaan tadi. Lalu sejenak saya menenangkan diri,
hening, dan saya teringat sebuah pelajaran, ketika ada seseorang datang
mengatakan sesuatu dan tiba-tiba kita merasa jengkel dengan orang tersebut,
maka seharusnya yang kita lihat bukan kenapa dia nyebelin atau bikin jengkel,
tapi kenapa kita jengkel? Orang tersebut secara tidak langsung sedang
menunjukkan apa yang masih tersimpan dalam diri kita, apakah hati kita ini sudah benar-benar bersih
dan tulus? Apakah kita sudah bisa ikhlas menerima siapapun, apalagi ini datang
minta tolong. Ya, orang lain menjadi cermin bagi diri kita, untuk mengetahui
apa yang masih tersimpan di dalam diri. Kalau kita masih bereaksi negatif, maka
berarti masih memiliki hal yang negatif di dalam diri. Kalau kita tidak punya
hal negatif dalam diri, maka orang bicara apapun harusnya saya tidak perlu
merasa jengkel.
Lalu selintas teringat sebuah kalimat
dalam CD Soul Reflection yang mengatakan bahwa, “Seringkali kita dapat
melakukan penilaian pada orang lain, dan tak dapat mengukur kedalaman hati
kita. Seringkali kitapun melakukan proses-proses pengingkaran, kita tidak jujur
pada diri kita sendiri. Jujur pada orang lain lebih mudah, tapi jujur pada diri
sendiri membutuh waktu untuk merenungkannya.” Saya mengakui, saya masih punya
ego, tidak ikhlas, seharusnya saya bersyukur dan berterimakasih pada Bapak
tetangga yang sudah menunjukkan apa yang ada dalam diri saya.
Akhirnya malam ini, saya belajar
lagi untuk kesekian kalinya, bahwa kita harus aware dengan “cermin” yang datang
dan melihat kepadanya untuk melihat kedalam diri kita, dan jujur atas rasa apa yang muncul.
Kecepatan memahami, dan segera memurnikan diri agar rasa negatif tidak
berlarut-larut ini akan membuat diri kita selalu damai.
#soulreflection #ngesoulforpeace
Tidak ada komentar:
Posting Komentar